Empat
Setelah beberapa hari berlalu kondisi ummu Anwar akhirnya membaik, tiba hari pelaksanaan baksos, Anwar dan Asma keduanya terlibat dan turut membantu panitia dalam melaksanakan acara bakti sosial yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga Dakwah yang berada dilingkungan Pancoran Mas, namun nyaris keduanya tak bertemu dan berkomunikasi saat baksos itu, karena memang selain keduanya mendapat tugas dan keperluan yang berlainan Asma memang masih tak ingin untuk bertemu dengan Anwar, ia masih cemas akan perasaan yang ada didalam hatinya.
Seminggu berlalu semuanya berjalan seperti biasa, hingga pada Ahad sore ustadzah Halimah meminta Asma menemaninya ke Masjid At-Taqwa demikian pula ustadz Rahmat meminta Anwar untuk bertemu dengannya di Masjid At-Taqwa di jam yang sama, baik Anwar maupun Asma tidak ada yang mengetahui bahwa ustadz Rahmat dan ustadzah Halimah sudah membuat sebuah rencana untuk mempertemukan mereka berdua di hari, lokasi dan jam yang sama dengan maksud dan tujuan untuk menta’arufkan antara Anwar dan Asma.
Asma bertanya kepada uastadzah Halimah, hendak apa beliau mengajak nya ke Masjid At-Taqwa sore ini, apa ada kajian sore ataukah ada kajian pekanan, namun setahu Asma tidak pernah ada kajian sore di Masjid At-Taqwa karena biasanya kajian diadakan pagi hari dan itu pun setiap pekan pertama dan ketiga, sedangkan sekarang adalah pekan kedua, dan jadwal pekanan mereka pun biasanya ba’da waktu Magrib, itupun pasti di rumah ustadzah Halimah, namun ustadzah Halimah hanya diam dan tak menjawab, beliau hanya meminta Asma untuk ikut saja, ustadzah Halimah sengaja tidak memberi tahukan Asma mengenai rencana yang telah beliau persiapkan bersama suaminya dan ustadz Rahmat.
Asma dan ustadzah Halimah tiba terlebih dahulu di Masjid At-Taqwa, disana sudah dipasang tirai sebagai pembatas untuk ustadzah Halimah serta Asma dengan seseorang yang akan datang kemudian yakni ustadz Rahmat dan Anwar, hati Asma penuh tanya, sebenarnya akan ada apa, dan mengapa saat mereka tiba Masjid masih sepi, sampai akhirnya tiba ustadz Rahmat dan memberikan Salam serta menanyakan apakah yang berada dibalik tirai itu adalah ustadzah Halimah beserta Asma, mereka mengiyakan, mengetahui yang datang adalah ustadz Rahmat, membuat Asma bertanya kepaada utadz Rahmat ‘ustadz datang juga ? sebenarnya mau ada acara apa sihh ? kok Asma gak dikasih tahu dengan lengkap ?’
Namun ustadz Rahmat hanya berkata untuk menunggu sebentar sampai seseorang yang terakhir datang baru nanti setelahnya beliau akan menjawab pertanyaan dari Asma. Yaa,,, seperti itulah Asma, orangnya selalu penuh antusias dan penuh rasa ingin tahu serta penasaran akan hal yang membuat dirinya bingung, akan tetapi setelah mendengar jawaban dari ustadz Rahmat yang demikian membuat Asma hanya bisa terdiam sambil menunggu orang terakhir yang dimaksudkan datang. Ia berfikir mungkin orang terakhir yang dimaksudkan adalah salah pengurus lembaga Dakwah atau panitia baksos dan mereka akan melaksanakan rapat evaluasi atau rapat untuk acara yang lainnya.
Setelah menunggu beberapa menit, tibalah seseorang pria memberikan salam dan berjalan mendekat menghampiri tirai, mendengar suara itu membuat Asma tertegun, hatinya berdegup kencang, ia seperti mengenali suara itu yang tak terasa asing bagi nya, namun ia menepis hal yang ada di fikirannya, tak mungkin kalau orang yang baru datang itu adalah Anwar, karena untuk apa Anwar datang ke sini dan kenapa harus menemui ustadz Rahmat di Masjid ini, dia kan bisa bertemu ustadz Rahmat di rumahnya, lalu apa kaitannya dengan ustadzah Halimah dan dirinya.
Begitu banyak pertanyaan menyelimuti hati Asma bercampur kegelisahan dan kerisauan karena hatinya terus berdegup kencang, ‘ya Allah bantu aku untuk mengendalikan hati dan perasaan ku ini,’ doa nya dalam hati untuk membuat hatinya menjadi lebih tenang, ia terus beristighfar untuk mengendalikan emosi dan perasaan hatinya, sampai akhirnya ustadz Rahmat membuka majelis yang mengawalinya dengan basmalah dan tilawah, setelahnya ustadz Rahmat memberitahukan kepada seseorang yang baru saja datang, bahwa dibalik tirai itu ada 2 orang yang telah menunggu kehadirannya sejak beberapa waktu yang lalu, ustadz Rahmat sengaja tak menyebutkan nama siapa yang berada di balik tirai tersebut, dan Ustadz Rahmat pun tak menyebutkan nama dari seseorang yang baru saja hadir itu.
Suasana sempat terasa hening sejenak karena sebelum melanjutkan perkataannya untuk menjelaskan maksud dan tujuan diadakannya pertemuan itu, ustadz Rahmat meminta seseorang yang baru saja hadir ataupun yang berada dibalik tirai untuk meluruskan kembali hati mereka, memusatkan fikiran akan apa yang hendak disampaikan oleh beliau, baik Asma ataupun Anwar sama sekali tak tahu bahwa Ustadzah Halimah dan Ustadz Rahmat hendak memproses ta’aruf mereka, dan mereka hanya bisa banyak-banyak bertasbih, mengingat maha Besarnya Allah agar tetap terjaga hati dan fikiran mereka, sampai pada akhirnya ustadz Rahmat memberitahukan kepada sosok yang terakhir datang bahwa seseorang yang berada dibalik tirai adalah ustadzah Halimah bersama seseorang akhwat yang akan diperkenalkan kepadanya.
Ustadz Rahmat bertanya kepada sosok yang terakhir datang dan seseorang yang berada dibalik tirai apakah mereka siap untuk melanjutkan proses ta’aruf ini dengan tetap meluruskan hati dan niat setelah mereka tahu siapa sebenarnya yang akan di ta’arufkan kepada mereka, Anwar mengangguk pun demikian dengan Asma yang diwakili ustadzah Halimah menyampaikannya kepada ustadz Rahmat, akhirnya ustadz Rahmat meminta sosok yang terakhir datang itu untuk menyebutkan terlebih dahulu identitas dan jati dirinya secara lengkap dan mendetail.
Suasana kembali hening untuk sejenak, Anwar berusaha menenangkan dirnya dan memantapkan hatinya dengan berdo’a memohon kepada Rabbnya, untuk diberikan ketenangan dan keyakinan, sementara itu dibalik tirai Asma menanti dengan penuh tanya dan sejuta perasaan yang juga tak menentu, ia pun hanya mampu berdo’a agar Allah tetap menjaga hati dan niatnya, untuk bisa tetap tenang, yakin dan lapang setelah mendengar dan mengetahu siapa sebenarnya seserorang yang berada dibalik tirai, dengan mengucap lafadz Basmallah, Anwar memulai menybutkan identitas dirinya, menyebutkan nama lengkap dirinya.
Kaget bukan main Asma saat mendengar bahwa sosok yang berada dibalik tirai itu, yang sedang dita’arufkan dengannya oleh ustadz Rahmat dan ustadzah Halimah adalah Anwar, yahh benar Muhammad Anwar Siddiq, ikhwan yang selama ini menarik perhatiannya, dengan segala rasa kagum bahkan rasa sayangnya, entah harus merasa apa dengan ta’aruf yang sedang ia jalani ini, apakah Asma harus merasa senang, bahagia, sedih ataukah takut ? Asma bingung ia sangat bingung, merasa senang tentu saja, wanita mana yang tak senang jika akan menikah dengan seseorang yang ia sayangi, namun di sisi lain ia pun merasa cemas, karena saat ini hatinya telah memiliki kecondongan dan perasaan terlebih dahulu kepada Anwar, Asma takut Allah tidak meRidhai pernikahannya karena kecondongan hatinya itu, sehingga mempengaruhi niatnya menerima ta’aruf ini bukan karena Allah semata tapi karena perasaan sayangnya pada Anwar.
Tanpa sadar Asma meneteskan airmata, ia tertunduk dan hanya bisa terdiam sambil mendengarkan segala penuturan Anwar tentang dirinya, Asma terdiam dan hanya terdiam, namun dalam diamnya ia berdoa pada Rabbnya di dalam hatinya, ‘ya Allah yang maha mengetahui, aku bingung dengan semua ini, dengan segala yang terjadi saat ini, berikan aku jawaban dan petunjuk ya Allah, apakah ini jawaban atas segala do’a dan harapan ku, karena Mu jika memang ya ini jawaban do’a ku dan Mas Anwar memang Engkau ciptakan untuk ku, mantapkan dan teguhkan hati ku, dan buang segala keraguan serta kekhawatiran yang ada dihatiku, serta bantu aku untuk bisa meluruskan hati ku untuk menerima ta’aruf ini hanya karena Mu dan untuk mencari Ridha Mu, sungguh ya Allah tiada daya dan upaya selain dari Mu dan hanya Engkaulah sebaik-baiknya pemberi petunjuk, amin Allahumma amin.’
Melihat Asma yang terdiam dan menteskan airmata membuat ustadzah Halimah merangkul dan mendekapnya, menenangkan dan menanyakan apa yang sedang Asma fikirkan dan rasakan, ustadzah Halimah mengatakan kepada Asma untuk menyerahkan segala perkara dan urusan hanya kepada Allah semata, karena Allah lah yang menetukan semuanya. Asma mengerti apa yang ustadzah Halimah maksudkan, ia mengusap airmatanya dan menenangkan dirinya, menarik nafas dan memusatkan kembali fikirannya, Anwar telah selesai menjelaskan dan memaparkan tentang dirinya, kemudian ustadz Rahmat menanyakan kepada seseorang yang berada dibalik tirai apakah sudah cukup jelas dengan pemaparan yang disampaikan Anwar dan adakah yang ingin ditanyakan kepadanya.
Asma menjawab ia sudah cukup jelas dan mengerti dengan semua yang Anwar sampaikan, saat Asma mengatakan ia telah faham dengan yang dirinya sampaikan, membuat Anwar sedikit terkejut ia merasa cukup mengenal suara yang baru saja didengarnya, namun Anwar tidak ingin mengambil kesimpulan sendiri bahwa yang memiliki suara itu adalah Asma, karena ia tak ingin terlalu berharap bahwa akhwat yang sedang di ta’rufkan dengan nya adalah Asma, hingga pada akhirnya Asma menyebutkan identitas dan data dirinya secara mendetail.
Sama halnya dengan yang terjadi dengan Asma, Anwar pun merasa sangat terkejut, kaget dan tak pernah menyangka, bahwa wanita yang berada di balik tirai itu dan yang kini sedang di ta’arufkan dengannya adalah Asma, Asma Nur Sya’Idah, wanita yag selama ini ia cintai, namun Anwar hanya sangup memasrahkan semua kepada Tuhannya akan cinta yang ia miliki pada Asma, entahlah dihatinya ada begitu banyak perasaan yang tercampur menjadi satu, namun Anwar hanya bisa tertegun sambil mengucap tasbih kepada Rabbnya.
Setelah Asma selesai menjelaskan tentang identitas dirinya, yang sesungguhnya telah Anwar ketahui sejak lama, ustadz Rahmat bertanya kepada Asma maupun Anwar apakah mereka menerima calon yang dita’arufkan kepada mereka, dan bersedia untuk melanjutkan kearah dan proses selanjutnya.
Sejenak suasana didalam Masjid itu menjadi sangat sunyi karena baik Asma ataupun Anwar, keduanya terdiam memikirkan, merenungkan dan meluruskan kembali hati dan niat mereka apakah bersedia untuk menrima ta’aruf ini karena Allah, bukan karena kecendurngan hati yang telah mereka miliki, Asma menangis, dalam relung hatinya terasa begitu bimbang, menerima ta’aruf ini dan menikah dengan Anwar, tentu saja adalah sesuatu yang memang ia harapkan selama ini, namun bagaimana jika ternyata Anwar tidak bisa menerima ta’aruf ini dan menolaknya karena ia telah memiliki perasaan terhadap wanita lain, dan tiba-tiba hadir dibenak Asma bayangan wanita yang terlihat begitu akrab berbincang dengan Anwar ketika ummunya sakit, Asma berfikir mungkin wanita itulah yang kini memang dekat dengan Anwar dan menjadi seseorang yang spesial bagi Anwar, fikir Asma.
Namun sungguh tak pernah Asma fikirkan, airmatanya mengalir semakin deras, ia hanya sanggup bertasbih dan memanjatkan rasa syukur serta pujian kepada Rabbnya, ketika mendengar Anwar mengatakan suatu hal yang sungguh tak pernah Asma duga, saat Anwar mengawali kata-katanya dengan Basmallah yang kemudian meanjutkan perkataanya bahwa Anwar bersedia menerima ta’aruf ini, menerima Asma sebagai calon istrinya, dan melanjutkan ke proses selanjutnya, ‘subhanallah, Maha suci Engkau ya Allah, jika memang inilah jawaban atas segala doa’aku selama ini, menjadikannya sebagai Qawwam diriku Ridhai lah dan berikan hamba kekuatan untuk mengatakan nya,’ ucap Asma dalam hatinya, memohon kepada Rabbnya untk memberikan nya petunjuk yang terbaik baginya.
Dan akhirnya setelah Asma merasa sedikit tenang ia menaik nafas perlahan untuk memantapkan keputusannya, dengan diawali Basmallah ia mengatakan bahwa ia pun bersedia untuk menerima ta’aruf ini. Baik Anwar maupun Asma keduanya hanya sanggup pasrah atas semua yang telah Allah gariskan, karenanya mereka masih menyimpan dan menutup rapat perasaan yang sesungguhnya telah ada diantara mereka, biarlah semuanya terjawab saat memang waktunya telah tiba, saat dimana tak boleh ada lagi dusta diantara keduanya.
Kemudian ustadz Rahmat menyampaikan suatu hal, karena Anwar dan Asma telah bersedia untuk melanjutka ke proses selanjutnya, ustadz Rahmat berkata pada ustadzah Halimah, Anwar dan Asma, karena kedua belah pihak telah setuju maka akan segera membicarakan hal ini kepada ummu Anwar dan sesegara mungkin untuk memenemui ustadzah Halimah sebagai wali Asma dan mungkin jika bisa, bertemu dengan pihak keluarga Asma baik itu om atau tante Asma untuk membicarakan proses pengkhitbahan.
*****
Saat tiba di Rumah ustadzah Halimah bertanya kepada Asma apa ia akan memeberitahukan keluarga besarnya tentang rencana pernikahannya, karena setidaknya om dan tante Asma baik dari ayah atau ibunya, berhak tahu jika Asma akan menikah, Asma bilang kepada ustadzah Halimah ia akan berusaha untuk menghubungi semua om dan tantenya, baik yang berada di Palembang, Solo ataupun yang telah berada di Depok dan Jakarta. Asma adalah gadis keturnan Melayu dan Jawa, ibu Asma lahir dan besar di Malang, sementara ayahnya pria keturunan tionghua-palembang yang kemudian merantau ke pulau Malang untuk kuliah dan bekerja di sana, orangtuanya bertemu sejak keduanya masih sama-sama duduku dibangku kuliah, namun pernikahan keduanya tak direstui oleh keluarga dari pihak ibu Asma, karena alasan keyakinan ayah Asma yang saat itu memeluk agama Katolik.
Meski beberapa hari sebelum melamar ibunya, ayah Asma telah mengucapkan syahadat namun tetap saja nenek dan kakek Asma tidak menyetujui pernikahan orangtuanya, hingga pada akhirnya ayah dan ibu Asma menikah secara diam-daim dan pergi ke Jakarta, karena hal itu pihak keluarga ayah dan ibu Asma tak saling menyukai satu sama lain, pihak keluarga ibu Asma mengancam akan melaporkan keluarga ayah Asma ke pengadilan karena menganggap bahwa ayah Asma telah menculik dan menyembunyikan anak gadis mereka yakni ibu kandung Asma.
Baru setelah 2 tahun berlalu ayah dan ibu Asma menemui keluarga mereka dan menjelaskan tentang pernikahan mereka, serta memperkenalkan anak perempuan yang telah mereka miliki dari hasil pernikahan mereka dan mereka beri nama Asma Nur Sya’Idah, namun ternyata tetap saja keluarga ayah dan ibunya tidak bisa menerima pernikahan mereka bahkan keluarga orangtuanya, tidak mengakui anak hasil pernikan mereka, dengan kata lain keluarga orangtua Asma tidak mengakui keberadaannya, sampai Asma berusia 4 tahun ibu Asma mendapat kabar bahwa kakek Asma jatuh sakit dan harus di rawat di Rumah sakit karena beliau terkena struk, dan saat itu ibu Asma, membawa Asma pulang ke Malang dan pergi ke Rumah Sakit untuk melihat kondisi kakek Asma.
Selama perjalanan menuju rumah sakit, Asma kecil bertanya kepada ibunya kemana mereka akan pergi, ibu Asma menjawab bahwa mereka akan pergi ke Rumah sakit karena kakek Asma sedang di Rawat di sana, Asma bertanya kembali kepada ibunya, ‘siapa itu kakek ibu ? dan kenapa kita harus menjenguknya ?,’ ibu Asma menjelaskan kepadanya bahwa kakek adalah ayah dari ibu, seperti Asma yang mempunyai ayah dan ibu, ibu juga mempunyai ayah dan ibu seperti Asma, seperti Asma yang sayang sama ayah dan ibunya, ibunya mengatakan bahwa ia menyayangi ayah dan ibunya yakni kakek dan nenek Asma, dan ibu Asma pun berkata Asma juga harus menyayangi kakek dan neneknya seperti ia menyayangi ayah dan ibunya.
Setibanya di rumah sakit saat itu, pakde dan bude Asma yang menunggu diluar kamar inap tidak mengizinkan ia dan ibunya untuk melihat kakek Asma, sampai pada akhirnya Asma menangis dan mengatakan kepada pakde dan budenya bahwa mereka semua jahat karena tidak mengizinkan Asma bertamu kakeknya, padahal ia ingin melihat wajah kakeknya dan mengatakan bahwa Asma sangat menyayangi kakeknya, melihat Asma kecil menangi saat itu, akhirnya membuat hati pakde dan bude Asma meluluh dan mereka mengizinkan Asma dan ibunya untuk bertemu dengan kakeknya.
Saat memasuki ruang rawat inap, disana ada nenek Asma bersama salah seorang budenya, mereka bertanya kepada ibu Asma, untuk apa Asma kecil dan ibunya datang ke sana, karena keluarga ibu Asma sudah tidak menganggap ibu Asma bagian dari keluarga lagi, karena telah menikah diam-diam dan lari dengan seorang laki-laki yang tidak pernah direstui oleh pihak kelurga, ibu Asma hanya terdiam dan menangis mendengar hal itu, ia tahu apa yang ia lakukan adalah sesuatu yang salah, namun ia tidak mungkin meninggalkan Pramono, ayah Asma pria yang sangat dicintainya, sampai akhirnya Asma kecil lah yang menjawab pertanyaan nenek dan budenya alasan mereka datang ke rumah sakit karena ingin menjenguk kakek, dan Asma berkata kepada nenek dan budenya bahwa ia sangat menyayangi kakek dan neneknya, Asma sayang nenek dan kakek seperti ia menyayangi ayah dan ibunya.
Asma kecil bertanya dengan lugu kepada nenek dan budeenya, kenapa mereka bersikap kasar dan tidak baik kepada ia dan ibunya, padahal ibunya tidak berbuat selah dan bermaksud baik ingin melihat keadaan kakek, Asma kecil menangis karena sedih ibu yang sangat disayanginya, diperlakukan tak baik oleh keluarganya, padahal selama ini ibunya tak pernah marah sedikitpun pada Asma dan selalu mengajarkan hal yang baik dan santun serta begitu lemah lembut dan tidak pernah berkata dengan nada yang kasar. Karenanya saat mendapat perlakuan dan sikap yang kasar dan tidak baik dari pakde dan bude serta neneknya membuat Asma kecil sedih, meski ia tak tahu kenapa mereka berbuat seperti itu.
Melihat putri kecilnya menangis ibu Asma menggendong dan membawanya keluar dan hendak meninggalkan rumah sakit, meliht hal itu membuat nenek Asma dengan naluri keibuannya terenyuh, bagaimanapun juga ibu Asma adalah amak kandungnya, dan setiap ibu pasti mencintai anaknya, akhirnya nenek Asma memanggil ia dan ibunya serta memeluk mereka dan membawa mereka kembali ke ruangan dimana kakek Asma di rawat, hari itu barulah keluarga ibu Asma memaafkan ibunya dan menerima kembali kehadiran Asma dan ibunya menjadi bagian dari anggota keluarga, meski mereka masih menyimpan rasa benci kepada keluarga ayah Asma.
*****
Tak jauh berbeda dengan yang terjadi di keluarga ibunya, di keluarga ayahnya pun, ayah dan ibu Asma selalu berusaha untuk menjelaskan dan meminta maaf kepada keluarga Asma, agar mereka mau memaafkan keduanya dan melupakan kejadian masa lalu, dan yang paling utama adalah ayah dan ibu Asma berharap keluarga besarnya mampu menerima kehadiran Asma sebagai bagian dari mereka, karena keluarga ayah Asma adalah ummat katolik yang sangat ta’at mereka tak bisa menerima karena ayahnya telah menikah dengan perempuan Muslim dan keluar dari agamanya secara diam-diam, dan sampai saat ini setelah ayah Asma meninggal sepertinya mereka belum bisa menerima kenyataan dan pernikahan orangtuanya.
“seperti itu umi, jadi sepertinya akan sangat sulit bagi ku untuk mengharapkan kehadiran om dan tante dari keluarga ayah untuk bisa datang dan menjadi wali nikah ku, sedangkan keyakinan kami saja berbeda.”
“ya sudah, kamu tak usah bersedih ya nak, hadir atau tidaknya mereka anti harus tetap memberi mereka kabar, syuku-syukur keluarga dari pihak ibu mu bisa hadir, tadi kan anti bilang kalo mak’cie, pak’cie, kakek dan nenek anti sudah bisa menerima ibu anti dan anti kembali, coba hubungi mereka, jika pun tak ada yang datang, anti tak perlu khawatir, karena ada umi, abi, ustadz Rahmat dan keluarga Anwar yang akan membantu anti, untuk wali nikah, umi dan abi yang akan menjadi wali nikah anti nantinya.”
“baik umi, Asma fahim.”
Esok harinya Asma berusaha untuk menghubungi keluarga dari ayah dan ibunya tentang rencana pernikahannya, Asma memulainya dengan mendatangi kediaman salah seorang budenya yaitu bude Laela yang kini tinggal di bilangan cibubur Jakarta Timur, di dalam perjalanan menuju kediaman budenya Asma berharap dan berdo’a, semoga rumah budenya itu belum pindah, karena terakhir kali ia datang ke rumah budeenya adalah 6 tahun lalu saat ia liburan menjelang tahun ajaran baru saat ia akan memasuki kuliah perdananya, dan sejak saat itu ia tak pernah mendapat kabar tentang budenya.
Setibanya di depan rumah bydenya Asma menekan bel yang ada di depan pintu gerbang dan beberapa kali ia mengucapkan salam, namun setelah beberapa lama tak ada jawaban dari dalam rumah, ‘sepi sepertinya, apa bude sedang pergi ya ? atau jangan-jangan mereka pindah rumah ?” gumam Asma penuh tanya, kemana lagi aku mencari tahu dan memberi kabar kepada bude dan pakde yang lainnya, sedangkan semua pakde dan bude yang lain kan masih berada di Malang, dan aku juga tidak tahu alamat pakde dan bude yang berada di Malang” lanjut Asma.
Asma merasa sedih, sepertinya ia telah kehilangan harapan untuk bisa memberikan kabar kepada keluarga ibunya tentang rencana pernikahannya, sampai pada akhirnya, ketika ia berbalik arah dan hendak melangkah untuk pergi, dating lah sesosok wanita paruh baya memanggilnya.
“maaf lama menunggu cari siapa dek ?”
“bude ini Asma, bude masih ingat Asma ?”
“Asma ?? tunggu, kau Asma Nur Sya’Idah anak dari adikku Amira, benar?”
“iya bude ini Asma, Alhamdulillah bude masih ingat.”
“bagaiman bude bisa lupa kamu tohh nduk, kamu kan keponakan ku, mari masuk Asma.”
“baik bude terimakasih.”
“apa kabarmu Asma, sudah lama banget bude tidak dapat kabar tentang Asma.”
“Asma sehat bude Alhamdulillah.”
“tinggal dimana kamu sekarang ? bude dengar bapak mu meninggal dalam kecelakaan pesawat, apa benar itu Asma ?”
“benar bude, pesawat yang ditumpangi ayah jatuh, ayah dan istrinya menjadi korban yang meninggal dalam kecelakaan tersebut.”
“kamu tinggal dimana sekarang Asma ? Kamu ini sejak ibumu meninggalkan bude sudah bilang lebih baik kamu ikut sama bude saja.”
“Asma tinggal bersama seorang ustadzah bude, beliau itu baik banget ke Asma bude, sayang banget ustadzah terhadap Asma, sampai beliau menganggap Asma seperti anak beliau sendiri.”
“apa benar itu Asma ? Karena selama ini bude merasa sangat khawatir akan keadaan mu, sebab tak satu pun kabar yang bude dapat mengenai mu sejak ibu mu meninggal.”
“iya bude, Asma minta maaf, jika Asma telah membuat bude khawatir selama 6 tahun ini.”
“o,iya, jika bude boleh bertanya, apa ada suatu hal penting kah yang hendak Asma sampaikan sama bude Asma ?”
“iya bude Asma hampir lupa, Asma datang kesini untuk memberitahukan ke bude, bahwa insya Allah Asma akan menikah sebentar lagi, namun sebelum nya, pemuda yang akan menikah dengan Asma ingin sekali bisa bertemu dengan pihak keluarga Asma, karena nya Asma berharap bude bersedia untuk bertemu dengan pria itu dan memberikan kabar rencana pernikahan Asma kepada pakde dan bude yang lain di Malang.”
“tentulah Asma insya Allah bude akan sampaikan kabar pernikahan mu kepada semua pakde dan bude mu, ya sudah, kapan kira-kira calon suami mu mau bertemu dengan bude untuk membicarakan rencana pernikahan kalian ? o,iya satu lagi Asma, beritahu bude alamat kamu tinggal sekarang.”
“baik bude, nanti Asma akan sampaikan kepada mas Anwar dan keluarganya, nanti bude akan Asma kabarkan lagi, ini alamat dan rute dimana Asma tinggal sekarang (menuliskan diselembar kertas alamat dan rute rumah ustadzah Halimah, dan memberikannya kepada mak’cienya) ya sudah bude Asma mohon pamit dulu.”
“kamu tidak menginap disini saja Asma, tinggalah di sini sebelum pernikahan mu, sampaikan pada…. Siapa nama calon suami mu ?”
“Anwar bude.”
“iya sampaikan pada Anwar agar ia datang ke sini saja dan membicarakan persiapan pernikahan kalian di rumah bude.”
Sejenak Asma terdiam memikirkan baru saja yang budenya sampaikan, mungkin memang lebih baik pengkitbahan dilakukan di rumah bude laela, karena setidaknya bude Laela masih memiliki kekeluargaan dengannya, namun setelah ia renungkan tak mungkin ia meminta Anwar untuk datang ke tempat bude dan mengkhitbahnya disini, karena pasti Asma tak kan enak hati terhadap ustadzah Halimah seseorang yang telah menjadi ibu angkatnya dan telah tinggal bersamanya selama hampir 5 tahun terakhir.
Karenanya Asma menjelaskan kepada budenya, mungkin sebaiknya, beliau datang ke tempat ustadzah Halimah tempat yang juga dimana Asma tinggal sekarang, bukan maksud Asma untuk tidak sopan meminta bude mengunjungi keponakannya, Asma hanya merasa tak enak hati jika tak melibatkan ustadzah Halimah dalam persiapan pernikahannya, karena selama ini ustadzah Halimah lah yang telah banyak membantunya saat ia dalam keadaan sedih, dan beliau pun kini yang telah menjadi orangtua angkat dan menajdi wali Asma.
Bude Laela mengerti akan maksud yang disampaikan oleh perkataan Asma, dan beliau bersedia untuk mebantu serta hadir saat proses lamaran di kediaman ustadzah Halimah nanti, dan setelah semua jelas Asma pamit dari rumah mak’cienya untuk pulang karena ada beberapa hal yang masih harus ia selesaikan di rumah.
Suasana senja Depok saat itu mengiringi perjalanan Asma pulang, dengan motor matic yang dikendarainya, ia tersenyum sepanjang perjalanan mengingat proses ta’arufnya dan rangkaian khitbah yang akan ia jalani, ditengah perjalanan saat memasuki jalur Magonda tiba-tiba terfikirkan di benaknya, sepertinya penting baginya mempersiapkan, meperbanyak dan memperdalam ilmu dan pengetahuan baik tentang proses pernikahan yang Islami, saat memasuki gerbang pernikahan ataupun cara pengelolaan rumah tangga setelah pernikahan, meskipun ia telah mengikuti beberapa kajian pra-nikah dan mendapatkan materi tentang munakahat baik dari ustadzah Halimah ataupun tatsqif yang diadakan Lembaga Dakwah yang ada dilingkungan rumahnya, namun ia berfikir, penting sepertinya untuk memiliki dan membaca buku refrensi seputar pernikahan, baik dari persiapannya maupun segala polemik yang ada didalam pernikahan.
Akhirnya Asma memutuskan untuk berhenti dan mampir disebuah toko buku yang berada disalah satu pusat perbelanjaan yang berada di kawasan Margonda, sesampainya Asma di toko buku langsung saja ia mencari beberapa judul buku yang berkaitan dengan pernikahan, ada beberapa judul buku yang menarik perhatiannya, selain bahasanya menarik pembahasan yang disampaikan juga memang sesuai dengan apa yang Asma cari dan butuhkan, dan dengan penuh semangat ia pun membeli buku yang telah ia pilih itu.
Seperti itulah, seungguhnya semua hal yang kita lakukan dalam keseharian membutuhkan sebuah ilmu dan pengetahuan untuk melakukannya, bukan untuk membatasi dan mengekang tapi justru karena Islam menyukai keteraturan dan keindahan karenanya, Islam memberikan peraturan dan batasan kepada setiap kaum Muslimin agar hidup mereka menjadi lebih indah dan terarah, dan seperti apa yang dituliskan oleh Yusuf Qardhawi mengenai fiqh prioritas bahwa Ilmu itu harus didahulukan atas amal, karena ilmu merupakan petunjuk dan pemberi arah amal yang akan dilakukan Serta dalam hadits Mu'adz disebutkan, "ilmu, itu pemimpin, dan amal adalah pengikutnya.” Ilmu pengetahuanlah yang menyebabkan rasa takut kepada Allah, dan mendorong manusia kepada amal perbuatan.
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda Rasulullah:
"Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka dia akan diberi-Nya pemahaman tentang agamanya."
Karena bila dia memahami ajaran agamanya, dia akan beramal, dan melakukan amalan itu dengan baik.
Dan karena ilmu pengetahuanlah yang mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil dalam keyakinan umat manusia; antara yang benar dan yang salah di dalam perkataan mereka;antara perbuatan-perbuatan yang disunatkan dan yang bid'ah dalam ibadah; antara yang benar dan yang tidak benar di dalam melakukan muamalah; antara tindakan yang halal dan tindakan yang haram; antara yang terpuji dan yang hina di dalam akhlak manusia; antara ukuran yang diterima dan ukuran yang ditolak; antara perbuatan dan perkataan yang bisa diterima dan yang tidak dapat diterima.
Benarlah apa yang pernah diucapkan oleh khalifah Umar bin Abd al-Aziz, "Barangsiapa melakukan suatu pekerjaan tanpa ilmu pengetahuan tentang itu maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki."
Karenanya terlebih mengenai sebuah pernikahan, yang meupakan awal dari pembangunan peradaban Islam, didalam nya terdapat sebuah ikatan suci yang dipenuhi dengan Ridha dan Barakah Illahi, untuk membentuk pribadi Islami, membangun generasi Rabbani, yang akhirnya mampu menciptakan masyarakat madani yang mendukung bangkitnaya khilafah Islamiah, karenanya pernikahan membutuhkan pengetahuan dan ilmu mengenainya, untuk bisa menciptakan sakinah didalamnya, samara menghiasinya dan mawadah menyertainya, sebuah pernikahan yang tak hanya menjadi sebuah ucapan penyerahan dan pemindahan tanggungjawab dari seorang ayah atas putrinya kepada seorang yang telah menikhainya tapi juga namun juga mampu menjadi taman syurga dan sarana untuk mendapatkan JannahNya, sebuah amalan Ibadah untuk memperoleh RidhaNya.
Dan bagi Asma itu adalah hal penting yang harus ia persiapkan agar ia mampu tak hanya menjadi seorang Istri yang baik dan shalihah yang adalah sebaik-baiknya perhiasan dunia, namun juga mampu menjadi bidadari yang mampu mendukung perjuangan sang suami, ibu yang baik bagi anak-anak yang akan dilahirkannya mendidik mereka untuk mampu menjadi Mujahid dan Mujahidah yang baik untuk Islam dan Dakwah dimuka bumi.
*****