Minggu, 30 Mei 2010

Sebuah Kisah yang Belum Berjudul

Empat


Setelah beberapa hari berlalu kondisi ummu Anwar akhirnya membaik, tiba hari pelaksanaan baksos, Anwar dan Asma keduanya terlibat dan turut membantu panitia dalam melaksanakan acara bakti sosial yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga Dakwah yang berada dilingkungan Pancoran Mas, namun nyaris keduanya tak bertemu dan berkomunikasi saat baksos itu, karena memang selain keduanya mendapat tugas dan keperluan yang berlainan Asma memang masih tak ingin untuk bertemu dengan Anwar, ia masih cemas akan perasaan yang ada didalam hatinya.


Seminggu berlalu semuanya berjalan seperti biasa, hingga pada Ahad sore ustadzah Halimah meminta Asma menemaninya ke Masjid At-Taqwa demikian pula ustadz Rahmat meminta Anwar untuk bertemu dengannya di Masjid At-Taqwa di jam yang sama, baik Anwar maupun Asma tidak ada yang mengetahui bahwa ustadz Rahmat dan ustadzah Halimah sudah membuat sebuah rencana untuk mempertemukan mereka berdua di hari, lokasi dan jam yang sama dengan maksud dan tujuan untuk menta’arufkan antara Anwar dan Asma.


Asma bertanya kepada uastadzah Halimah, hendak apa beliau mengajak nya ke Masjid At-Taqwa sore ini, apa ada kajian sore ataukah ada kajian pekanan, namun setahu Asma tidak pernah ada kajian sore di Masjid At-Taqwa karena biasanya kajian diadakan pagi hari dan itu pun setiap pekan pertama dan ketiga, sedangkan sekarang adalah pekan kedua, dan jadwal pekanan mereka pun biasanya ba’da waktu Magrib, itupun pasti di rumah ustadzah Halimah, namun ustadzah Halimah hanya diam dan tak menjawab, beliau hanya meminta Asma untuk ikut saja, ustadzah Halimah sengaja tidak memberi tahukan Asma mengenai rencana yang telah beliau persiapkan bersama suaminya dan ustadz Rahmat.


Asma dan ustadzah Halimah tiba terlebih dahulu di Masjid At-Taqwa, disana sudah dipasang tirai sebagai pembatas untuk ustadzah Halimah serta Asma dengan seseorang yang akan datang kemudian yakni ustadz Rahmat dan Anwar, hati Asma penuh tanya, sebenarnya akan ada apa, dan mengapa saat mereka tiba Masjid masih sepi, sampai akhirnya tiba ustadz Rahmat dan memberikan Salam serta menanyakan apakah yang berada dibalik tirai itu adalah ustadzah Halimah beserta Asma, mereka mengiyakan, mengetahui yang datang adalah ustadz Rahmat, membuat Asma bertanya kepaada utadz Rahmat ‘ustadz datang juga ? sebenarnya mau ada acara apa sihh ? kok Asma gak dikasih tahu dengan lengkap ?’


Namun ustadz Rahmat hanya berkata untuk menunggu sebentar sampai seseorang yang terakhir datang baru nanti setelahnya beliau akan menjawab pertanyaan dari Asma. Yaa,,, seperti itulah Asma, orangnya selalu penuh antusias dan penuh rasa ingin tahu serta penasaran akan hal yang membuat dirinya bingung, akan tetapi setelah mendengar jawaban dari ustadz Rahmat yang demikian membuat Asma hanya bisa terdiam sambil menunggu orang terakhir yang dimaksudkan datang. Ia berfikir mungkin orang terakhir yang dimaksudkan adalah salah pengurus lembaga Dakwah atau panitia baksos dan mereka akan melaksanakan rapat evaluasi atau rapat untuk acara yang lainnya.


Setelah menunggu beberapa menit, tibalah seseorang pria memberikan salam dan berjalan mendekat menghampiri tirai, mendengar suara itu membuat Asma tertegun, hatinya berdegup kencang, ia seperti mengenali suara itu yang tak terasa asing bagi nya, namun ia menepis hal yang ada di fikirannya, tak mungkin kalau orang yang baru datang itu adalah Anwar, karena untuk apa Anwar datang ke sini dan kenapa harus menemui ustadz Rahmat di Masjid ini, dia kan bisa bertemu ustadz Rahmat di rumahnya, lalu apa kaitannya dengan ustadzah Halimah dan dirinya.


Begitu banyak pertanyaan menyelimuti hati Asma bercampur kegelisahan dan kerisauan karena hatinya terus berdegup kencang, ‘ya Allah bantu aku untuk mengendalikan hati dan perasaan ku ini,’ doa nya dalam hati untuk membuat hatinya menjadi lebih tenang, ia terus beristighfar untuk mengendalikan emosi dan perasaan hatinya, sampai akhirnya ustadz Rahmat membuka majelis yang mengawalinya dengan basmalah dan tilawah, setelahnya ustadz Rahmat memberitahukan kepada seseorang yang baru saja datang, bahwa dibalik tirai itu ada 2 orang yang telah menunggu kehadirannya sejak beberapa waktu yang lalu, ustadz Rahmat sengaja tak menyebutkan nama siapa yang berada di balik tirai tersebut, dan Ustadz Rahmat pun tak menyebutkan nama dari seseorang yang baru saja hadir itu.


Suasana sempat terasa hening sejenak karena sebelum melanjutkan perkataannya untuk menjelaskan maksud dan tujuan diadakannya pertemuan itu, ustadz Rahmat meminta seseorang yang baru saja hadir ataupun yang berada dibalik tirai untuk meluruskan kembali hati mereka, memusatkan fikiran akan apa yang hendak disampaikan oleh beliau, baik Asma ataupun Anwar sama sekali tak tahu bahwa Ustadzah Halimah dan Ustadz Rahmat hendak memproses ta’aruf mereka, dan mereka hanya bisa banyak-banyak bertasbih, mengingat maha Besarnya Allah agar tetap terjaga hati dan fikiran mereka, sampai pada akhirnya ustadz Rahmat memberitahukan kepada sosok yang terakhir datang bahwa seseorang yang berada dibalik tirai adalah ustadzah Halimah bersama seseorang akhwat yang akan diperkenalkan kepadanya.


Ustadz Rahmat bertanya kepada sosok yang terakhir datang dan seseorang yang berada dibalik tirai apakah mereka siap untuk melanjutkan proses ta’aruf ini dengan tetap meluruskan hati dan niat setelah mereka tahu siapa sebenarnya yang akan di ta’arufkan kepada mereka, Anwar mengangguk pun demikian dengan Asma yang diwakili ustadzah Halimah menyampaikannya kepada ustadz Rahmat, akhirnya ustadz Rahmat meminta sosok yang terakhir datang itu untuk menyebutkan terlebih dahulu identitas dan jati dirinya secara lengkap dan mendetail.


Suasana kembali hening untuk sejenak, Anwar berusaha menenangkan dirnya dan memantapkan hatinya dengan berdo’a memohon kepada Rabbnya, untuk diberikan ketenangan dan keyakinan, sementara itu dibalik tirai Asma menanti dengan penuh tanya dan sejuta perasaan yang juga tak menentu, ia pun hanya mampu berdo’a agar Allah tetap menjaga hati dan niatnya, untuk bisa tetap tenang, yakin dan lapang setelah mendengar dan mengetahu siapa sebenarnya seserorang yang berada dibalik tirai, dengan mengucap lafadz Basmallah, Anwar memulai menybutkan identitas dirinya, menyebutkan nama lengkap dirinya.


Kaget bukan main Asma saat mendengar bahwa sosok yang berada dibalik tirai itu, yang sedang dita’arufkan dengannya oleh ustadz Rahmat dan ustadzah Halimah adalah Anwar, yahh benar Muhammad Anwar Siddiq, ikhwan yang selama ini menarik perhatiannya, dengan segala rasa kagum bahkan rasa sayangnya, entah harus merasa apa dengan ta’aruf yang sedang ia jalani ini, apakah Asma harus merasa senang, bahagia, sedih ataukah takut ? Asma bingung ia sangat bingung, merasa senang tentu saja, wanita mana yang tak senang jika akan menikah dengan seseorang yang ia sayangi, namun di sisi lain ia pun merasa cemas, karena saat ini hatinya telah memiliki kecondongan dan perasaan terlebih dahulu kepada Anwar, Asma takut Allah tidak meRidhai pernikahannya karena kecondongan hatinya itu, sehingga mempengaruhi niatnya menerima ta’aruf ini bukan karena Allah semata tapi karena perasaan sayangnya pada Anwar.


Tanpa sadar Asma meneteskan airmata, ia tertunduk dan hanya bisa terdiam sambil mendengarkan segala penuturan Anwar tentang dirinya, Asma terdiam dan hanya terdiam, namun dalam diamnya ia berdoa pada Rabbnya di dalam hatinya, ‘ya Allah yang maha mengetahui, aku bingung dengan semua ini, dengan segala yang terjadi saat ini, berikan aku jawaban dan petunjuk ya Allah, apakah ini jawaban atas segala do’a dan harapan ku, karena Mu jika memang ya ini jawaban do’a ku dan Mas Anwar memang Engkau ciptakan untuk ku, mantapkan dan teguhkan hati ku, dan buang segala keraguan serta kekhawatiran yang ada dihatiku, serta bantu aku untuk bisa meluruskan hati ku untuk menerima ta’aruf ini hanya karena Mu dan untuk mencari Ridha Mu, sungguh ya Allah tiada daya dan upaya selain dari Mu dan hanya Engkaulah sebaik-baiknya pemberi petunjuk, amin Allahumma amin.’


Melihat Asma yang terdiam dan menteskan airmata membuat ustadzah Halimah merangkul dan mendekapnya, menenangkan dan menanyakan apa yang sedang Asma fikirkan dan rasakan, ustadzah Halimah mengatakan kepada Asma untuk menyerahkan segala perkara dan urusan hanya kepada Allah semata, karena Allah lah yang menetukan semuanya. Asma mengerti apa yang ustadzah Halimah maksudkan, ia mengusap airmatanya dan menenangkan dirinya, menarik nafas dan memusatkan kembali fikirannya, Anwar telah selesai menjelaskan dan memaparkan tentang dirinya, kemudian ustadz Rahmat menanyakan kepada seseorang yang berada dibalik tirai apakah sudah cukup jelas dengan pemaparan yang disampaikan Anwar dan adakah yang ingin ditanyakan kepadanya.


Asma menjawab ia sudah cukup jelas dan mengerti dengan semua yang Anwar sampaikan, saat Asma mengatakan ia telah faham dengan yang dirinya sampaikan, membuat Anwar sedikit terkejut ia merasa cukup mengenal suara yang baru saja didengarnya, namun Anwar tidak ingin mengambil kesimpulan sendiri bahwa yang memiliki suara itu adalah Asma, karena ia tak ingin terlalu berharap bahwa akhwat yang sedang di ta’rufkan dengan nya adalah Asma, hingga pada akhirnya Asma menyebutkan identitas dan data dirinya secara mendetail.


Sama halnya dengan yang terjadi dengan Asma, Anwar pun merasa sangat terkejut, kaget dan tak pernah menyangka, bahwa wanita yang berada di balik tirai itu dan yang kini sedang di ta’arufkan dengannya adalah Asma, Asma Nur Sya’Idah, wanita yag selama ini ia cintai, namun Anwar hanya sangup memasrahkan semua kepada Tuhannya akan cinta yang ia miliki pada Asma, entahlah dihatinya ada begitu banyak perasaan yang tercampur menjadi satu, namun Anwar hanya bisa tertegun sambil mengucap tasbih kepada Rabbnya.


Setelah Asma selesai menjelaskan tentang identitas dirinya, yang sesungguhnya telah Anwar ketahui sejak lama, ustadz Rahmat bertanya kepada Asma maupun Anwar apakah mereka menerima calon yang dita’arufkan kepada mereka, dan bersedia untuk melanjutkan kearah dan proses selanjutnya.


Sejenak suasana didalam Masjid itu menjadi sangat sunyi karena baik Asma ataupun Anwar, keduanya terdiam memikirkan, merenungkan dan meluruskan kembali hati dan niat mereka apakah bersedia untuk menrima ta’aruf ini karena Allah, bukan karena kecendurngan hati yang telah mereka miliki, Asma menangis, dalam relung hatinya terasa begitu bimbang, menerima ta’aruf ini dan menikah dengan Anwar, tentu saja adalah sesuatu yang memang ia harapkan selama ini, namun bagaimana jika ternyata Anwar tidak bisa menerima ta’aruf ini dan menolaknya karena ia telah memiliki perasaan terhadap wanita lain, dan tiba-tiba hadir dibenak Asma bayangan wanita yang terlihat begitu akrab berbincang dengan Anwar ketika ummunya sakit, Asma berfikir mungkin wanita itulah yang kini memang dekat dengan Anwar dan menjadi seseorang yang spesial bagi Anwar, fikir Asma.


Namun sungguh tak pernah Asma fikirkan, airmatanya mengalir semakin deras, ia hanya sanggup bertasbih dan memanjatkan rasa syukur serta pujian kepada Rabbnya, ketika mendengar Anwar mengatakan suatu hal yang sungguh tak pernah Asma duga, saat Anwar mengawali kata-katanya dengan Basmallah yang kemudian meanjutkan perkataanya bahwa Anwar bersedia menerima ta’aruf ini, menerima Asma sebagai calon istrinya, dan melanjutkan ke proses selanjutnya, ‘subhanallah, Maha suci Engkau ya Allah, jika memang inilah jawaban atas segala doa’aku selama ini, menjadikannya sebagai Qawwam diriku Ridhai lah dan berikan hamba kekuatan untuk mengatakan nya,’ ucap Asma dalam hatinya, memohon kepada Rabbnya untk memberikan nya petunjuk yang terbaik baginya.


Dan akhirnya setelah Asma merasa sedikit tenang ia menaik nafas perlahan untuk memantapkan keputusannya, dengan diawali Basmallah ia mengatakan bahwa ia pun bersedia untuk menerima ta’aruf ini. Baik Anwar maupun Asma keduanya hanya sanggup pasrah atas semua yang telah Allah gariskan, karenanya mereka masih menyimpan dan menutup rapat perasaan yang sesungguhnya telah ada diantara mereka, biarlah semuanya terjawab saat memang waktunya telah tiba, saat dimana tak boleh ada lagi dusta diantara keduanya.


Kemudian ustadz Rahmat menyampaikan suatu hal, karena Anwar dan Asma telah bersedia untuk melanjutka ke proses selanjutnya, ustadz Rahmat berkata pada ustadzah Halimah, Anwar dan Asma, karena kedua belah pihak telah setuju maka akan segera membicarakan hal ini kepada ummu Anwar dan sesegara mungkin untuk memenemui ustadzah Halimah sebagai wali Asma dan mungkin jika bisa, bertemu dengan pihak keluarga Asma baik itu om atau tante Asma untuk membicarakan proses pengkhitbahan.


*****

Saat tiba di Rumah ustadzah Halimah bertanya kepada Asma apa ia akan memeberitahukan keluarga besarnya tentang rencana pernikahannya, karena setidaknya om dan tante Asma baik dari ayah atau ibunya, berhak tahu jika Asma akan menikah, Asma bilang kepada ustadzah Halimah ia akan berusaha untuk menghubungi semua om dan tantenya, baik yang berada di Palembang, Solo ataupun yang telah berada di Depok dan Jakarta. Asma adalah gadis keturnan Melayu dan Jawa, ibu Asma lahir dan besar di Malang, sementara ayahnya pria keturunan tionghua-palembang yang kemudian merantau ke pulau Malang untuk kuliah dan bekerja di sana, orangtuanya bertemu sejak keduanya masih sama-sama duduku dibangku kuliah, namun pernikahan keduanya tak direstui oleh keluarga dari pihak ibu Asma, karena alasan keyakinan ayah Asma yang saat itu memeluk agama Katolik.


Meski beberapa hari sebelum melamar ibunya, ayah Asma telah mengucapkan syahadat namun tetap saja nenek dan kakek Asma tidak menyetujui pernikahan orangtuanya, hingga pada akhirnya ayah dan ibu Asma menikah secara diam-daim dan pergi ke Jakarta, karena hal itu pihak keluarga ayah dan ibu Asma tak saling menyukai satu sama lain, pihak keluarga ibu Asma mengancam akan melaporkan keluarga ayah Asma ke pengadilan karena menganggap bahwa ayah Asma telah menculik dan menyembunyikan anak gadis mereka yakni ibu kandung Asma.


Baru setelah 2 tahun berlalu ayah dan ibu Asma menemui keluarga mereka dan menjelaskan tentang pernikahan mereka, serta memperkenalkan anak perempuan yang telah mereka miliki dari hasil pernikahan mereka dan mereka beri nama Asma Nur Sya’Idah, namun ternyata tetap saja keluarga ayah dan ibunya tidak bisa menerima pernikahan mereka bahkan keluarga orangtuanya, tidak mengakui anak hasil pernikan mereka, dengan kata lain keluarga orangtua Asma tidak mengakui keberadaannya, sampai Asma berusia 4 tahun ibu Asma mendapat kabar bahwa kakek Asma jatuh sakit dan harus di rawat di Rumah sakit karena beliau terkena struk, dan saat itu ibu Asma, membawa Asma pulang ke Malang dan pergi ke Rumah Sakit untuk melihat kondisi kakek Asma.


Selama perjalanan menuju rumah sakit, Asma kecil bertanya kepada ibunya kemana mereka akan pergi, ibu Asma menjawab bahwa mereka akan pergi ke Rumah sakit karena kakek Asma sedang di Rawat di sana, Asma bertanya kembali kepada ibunya, ‘siapa itu kakek ibu ? dan kenapa kita harus menjenguknya ?,’ ibu Asma menjelaskan kepadanya bahwa kakek adalah ayah dari ibu, seperti Asma yang mempunyai ayah dan ibu, ibu juga mempunyai ayah dan ibu seperti Asma, seperti Asma yang sayang sama ayah dan ibunya, ibunya mengatakan bahwa ia menyayangi ayah dan ibunya yakni kakek dan nenek Asma, dan ibu Asma pun berkata Asma juga harus menyayangi kakek dan neneknya seperti ia menyayangi ayah dan ibunya.


Setibanya di rumah sakit saat itu, pakde dan bude Asma yang menunggu diluar kamar inap tidak mengizinkan ia dan ibunya untuk melihat kakek Asma, sampai pada akhirnya Asma menangis dan mengatakan kepada pakde dan budenya bahwa mereka semua jahat karena tidak mengizinkan Asma bertamu kakeknya, padahal ia ingin melihat wajah kakeknya dan mengatakan bahwa Asma sangat menyayangi kakeknya, melihat Asma kecil menangi saat itu, akhirnya membuat hati pakde dan bude Asma meluluh dan mereka mengizinkan Asma dan ibunya untuk bertemu dengan kakeknya.


Saat memasuki ruang rawat inap, disana ada nenek Asma bersama salah seorang budenya, mereka bertanya kepada ibu Asma, untuk apa Asma kecil dan ibunya datang ke sana, karena keluarga ibu Asma sudah tidak menganggap ibu Asma bagian dari keluarga lagi, karena telah menikah diam-diam dan lari dengan seorang laki-laki yang tidak pernah direstui oleh pihak kelurga, ibu Asma hanya terdiam dan menangis mendengar hal itu, ia tahu apa yang ia lakukan adalah sesuatu yang salah, namun ia tidak mungkin meninggalkan Pramono, ayah Asma pria yang sangat dicintainya, sampai akhirnya Asma kecil lah yang menjawab pertanyaan nenek dan budenya alasan mereka datang ke rumah sakit karena ingin menjenguk kakek, dan Asma berkata kepada nenek dan budenya bahwa ia sangat menyayangi kakek dan neneknya, Asma sayang nenek dan kakek seperti ia menyayangi ayah dan ibunya.


Asma kecil bertanya dengan lugu kepada nenek dan budeenya, kenapa mereka bersikap kasar dan tidak baik kepada ia dan ibunya, padahal ibunya tidak berbuat selah dan bermaksud baik ingin melihat keadaan kakek, Asma kecil menangis karena sedih ibu yang sangat disayanginya, diperlakukan tak baik oleh keluarganya, padahal selama ini ibunya tak pernah marah sedikitpun pada Asma dan selalu mengajarkan hal yang baik dan santun serta begitu lemah lembut dan tidak pernah berkata dengan nada yang kasar. Karenanya saat mendapat perlakuan dan sikap yang kasar dan tidak baik dari pakde dan bude serta neneknya membuat Asma kecil sedih, meski ia tak tahu kenapa mereka berbuat seperti itu.


Melihat putri kecilnya menangis ibu Asma menggendong dan membawanya keluar dan hendak meninggalkan rumah sakit, meliht hal itu membuat nenek Asma dengan naluri keibuannya terenyuh, bagaimanapun juga ibu Asma adalah amak kandungnya, dan setiap ibu pasti mencintai anaknya, akhirnya nenek Asma memanggil ia dan ibunya serta memeluk mereka dan membawa mereka kembali ke ruangan dimana kakek Asma di rawat, hari itu barulah keluarga ibu Asma memaafkan ibunya dan menerima kembali kehadiran Asma dan ibunya menjadi bagian dari anggota keluarga, meski mereka masih menyimpan rasa benci kepada keluarga ayah Asma.


*****


Tak jauh berbeda dengan yang terjadi di keluarga ibunya, di keluarga ayahnya pun, ayah dan ibu Asma selalu berusaha untuk menjelaskan dan meminta maaf kepada keluarga Asma, agar mereka mau memaafkan keduanya dan melupakan kejadian masa lalu, dan yang paling utama adalah ayah dan ibu Asma berharap keluarga besarnya mampu menerima kehadiran Asma sebagai bagian dari mereka, karena keluarga ayah Asma adalah ummat katolik yang sangat ta’at mereka tak bisa menerima karena ayahnya telah menikah dengan perempuan Muslim dan keluar dari agamanya secara diam-diam, dan sampai saat ini setelah ayah Asma meninggal sepertinya mereka belum bisa menerima kenyataan dan pernikahan orangtuanya.


“seperti itu umi, jadi sepertinya akan sangat sulit bagi ku untuk mengharapkan kehadiran om dan tante dari keluarga ayah untuk bisa datang dan menjadi wali nikah ku, sedangkan keyakinan kami saja berbeda.”


“ya sudah, kamu tak usah bersedih ya nak, hadir atau tidaknya mereka anti harus tetap memberi mereka kabar, syuku-syukur keluarga dari pihak ibu mu bisa hadir, tadi kan anti bilang kalo mak’cie, pak’cie, kakek dan nenek anti sudah bisa menerima ibu anti dan anti kembali, coba hubungi mereka, jika pun tak ada yang datang, anti tak perlu khawatir, karena ada umi, abi, ustadz Rahmat dan keluarga Anwar yang akan membantu anti, untuk wali nikah, umi dan abi yang akan menjadi wali nikah anti nantinya.”


“baik umi, Asma fahim.”


Esok harinya Asma berusaha untuk menghubungi keluarga dari ayah dan ibunya tentang rencana pernikahannya, Asma memulainya dengan mendatangi kediaman salah seorang budenya yaitu bude Laela yang kini tinggal di bilangan cibubur Jakarta Timur, di dalam perjalanan menuju kediaman budenya Asma berharap dan berdo’a, semoga rumah budenya itu belum pindah, karena terakhir kali ia datang ke rumah budeenya adalah 6 tahun lalu saat ia liburan menjelang tahun ajaran baru saat ia akan memasuki kuliah perdananya, dan sejak saat itu ia tak pernah mendapat kabar tentang budenya.


Setibanya di depan rumah bydenya Asma menekan bel yang ada di depan pintu gerbang dan beberapa kali ia mengucapkan salam, namun setelah beberapa lama tak ada jawaban dari dalam rumah, ‘sepi sepertinya, apa bude sedang pergi ya ? atau jangan-jangan mereka pindah rumah ?” gumam Asma penuh tanya, kemana lagi aku mencari tahu dan memberi kabar kepada bude dan pakde yang lainnya, sedangkan semua pakde dan bude yang lain kan masih berada di Malang, dan aku juga tidak tahu alamat pakde dan bude yang berada di Malang” lanjut Asma.


Asma merasa sedih, sepertinya ia telah kehilangan harapan untuk bisa memberikan kabar kepada keluarga ibunya tentang rencana pernikahannya, sampai pada akhirnya, ketika ia berbalik arah dan hendak melangkah untuk pergi, dating lah sesosok wanita paruh baya memanggilnya.


“maaf lama menunggu cari siapa dek ?”


“bude ini Asma, bude masih ingat Asma ?”


“Asma ?? tunggu, kau Asma Nur Sya’Idah anak dari adikku Amira, benar?”


“iya bude ini Asma, Alhamdulillah bude masih ingat.”


“bagaiman bude bisa lupa kamu tohh nduk, kamu kan keponakan ku, mari masuk Asma.”


“baik bude terimakasih.”


“apa kabarmu Asma, sudah lama banget bude tidak dapat kabar tentang Asma.”


“Asma sehat bude Alhamdulillah.”


“tinggal dimana kamu sekarang ? bude dengar bapak mu meninggal dalam kecelakaan pesawat, apa benar itu Asma ?”


“benar bude, pesawat yang ditumpangi ayah jatuh, ayah dan istrinya menjadi korban yang meninggal dalam kecelakaan tersebut.”


“kamu tinggal dimana sekarang Asma ? Kamu ini sejak ibumu meninggalkan bude sudah bilang lebih baik kamu ikut sama bude saja.”


“Asma tinggal bersama seorang ustadzah bude, beliau itu baik banget ke Asma bude, sayang banget ustadzah terhadap Asma, sampai beliau menganggap Asma seperti anak beliau sendiri.”


“apa benar itu Asma ? Karena selama ini bude merasa sangat khawatir akan keadaan mu, sebab tak satu pun kabar yang bude dapat mengenai mu sejak ibu mu meninggal.”


“iya bude, Asma minta maaf, jika Asma telah membuat bude khawatir selama 6 tahun ini.”


“o,iya, jika bude boleh bertanya, apa ada suatu hal penting kah yang hendak Asma sampaikan sama bude Asma ?”


“iya bude Asma hampir lupa, Asma datang kesini untuk memberitahukan ke bude, bahwa insya Allah Asma akan menikah sebentar lagi, namun sebelum nya, pemuda yang akan menikah dengan Asma ingin sekali bisa bertemu dengan pihak keluarga Asma, karena nya Asma berharap bude bersedia untuk bertemu dengan pria itu dan memberikan kabar rencana pernikahan Asma kepada pakde dan bude yang lain di Malang.”


“tentulah Asma insya Allah bude akan sampaikan kabar pernikahan mu kepada semua pakde dan bude mu, ya sudah, kapan kira-kira calon suami mu mau bertemu dengan bude untuk membicarakan rencana pernikahan kalian ? o,iya satu lagi Asma, beritahu bude alamat kamu tinggal sekarang.”


“baik bude, nanti Asma akan sampaikan kepada mas Anwar dan keluarganya, nanti bude akan Asma kabarkan lagi, ini alamat dan rute dimana Asma tinggal sekarang (menuliskan diselembar kertas alamat dan rute rumah ustadzah Halimah, dan memberikannya kepada mak’cienya) ya sudah bude Asma mohon pamit dulu.”


“kamu tidak menginap disini saja Asma, tinggalah di sini sebelum pernikahan mu, sampaikan pada…. Siapa nama calon suami mu ?”


“Anwar bude.”


“iya sampaikan pada Anwar agar ia datang ke sini saja dan membicarakan persiapan pernikahan kalian di rumah bude.”


Sejenak Asma terdiam memikirkan baru saja yang budenya sampaikan, mungkin memang lebih baik pengkitbahan dilakukan di rumah bude laela, karena setidaknya bude Laela masih memiliki kekeluargaan dengannya, namun setelah ia renungkan tak mungkin ia meminta Anwar untuk datang ke tempat bude dan mengkhitbahnya disini, karena pasti Asma tak kan enak hati terhadap ustadzah Halimah seseorang yang telah menjadi ibu angkatnya dan telah tinggal bersamanya selama hampir 5 tahun terakhir.


Karenanya Asma menjelaskan kepada budenya, mungkin sebaiknya, beliau datang ke tempat ustadzah Halimah tempat yang juga dimana Asma tinggal sekarang, bukan maksud Asma untuk tidak sopan meminta bude mengunjungi keponakannya, Asma hanya merasa tak enak hati jika tak melibatkan ustadzah Halimah dalam persiapan pernikahannya, karena selama ini ustadzah Halimah lah yang telah banyak membantunya saat ia dalam keadaan sedih, dan beliau pun kini yang telah menjadi orangtua angkat dan menajdi wali Asma.


Bude Laela mengerti akan maksud yang disampaikan oleh perkataan Asma, dan beliau bersedia untuk mebantu serta hadir saat proses lamaran di kediaman ustadzah Halimah nanti, dan setelah semua jelas Asma pamit dari rumah mak’cienya untuk pulang karena ada beberapa hal yang masih harus ia selesaikan di rumah.


Suasana senja Depok saat itu mengiringi perjalanan Asma pulang, dengan motor matic yang dikendarainya, ia tersenyum sepanjang perjalanan mengingat proses ta’arufnya dan rangkaian khitbah yang akan ia jalani, ditengah perjalanan saat memasuki jalur Magonda tiba-tiba terfikirkan di benaknya, sepertinya penting baginya mempersiapkan, meperbanyak dan memperdalam ilmu dan pengetahuan baik tentang proses pernikahan yang Islami, saat memasuki gerbang pernikahan ataupun cara pengelolaan rumah tangga setelah pernikahan, meskipun ia telah mengikuti beberapa kajian pra-nikah dan mendapatkan materi tentang munakahat baik dari ustadzah Halimah ataupun tatsqif yang diadakan Lembaga Dakwah yang ada dilingkungan rumahnya, namun ia berfikir, penting sepertinya untuk memiliki dan membaca buku refrensi seputar pernikahan, baik dari persiapannya maupun segala polemik yang ada didalam pernikahan.


Akhirnya Asma memutuskan untuk berhenti dan mampir disebuah toko buku yang berada disalah satu pusat perbelanjaan yang berada di kawasan Margonda, sesampainya Asma di toko buku langsung saja ia mencari beberapa judul buku yang berkaitan dengan pernikahan, ada beberapa judul buku yang menarik perhatiannya, selain bahasanya menarik pembahasan yang disampaikan juga memang sesuai dengan apa yang Asma cari dan butuhkan, dan dengan penuh semangat ia pun membeli buku yang telah ia pilih itu.


Seperti itulah, seungguhnya semua hal yang kita lakukan dalam keseharian membutuhkan sebuah ilmu dan pengetahuan untuk melakukannya, bukan untuk membatasi dan mengekang tapi justru karena Islam menyukai keteraturan dan keindahan karenanya, Islam memberikan peraturan dan batasan kepada setiap kaum Muslimin agar hidup mereka menjadi lebih indah dan terarah, dan seperti apa yang dituliskan oleh Yusuf Qardhawi mengenai fiqh prioritas bahwa Ilmu itu harus didahulukan atas amal, karena ilmu merupakan petunjuk dan pemberi arah amal yang akan dilakukan Serta dalam hadits Mu'adz disebutkan, "ilmu, itu pemimpin, dan amal adalah pengikutnya.” Ilmu pengetahuanlah yang menyebabkan rasa takut kepada Allah, dan mendorong manusia kepada amal perbuatan.
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda Rasulullah:
"Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka dia akan diberi-Nya pemahaman tentang agamanya."
Karena bila dia memahami ajaran agamanya, dia akan beramal, dan melakukan amalan itu dengan baik.


Dan karena ilmu pengetahuanlah yang mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil dalam keyakinan umat manusia; antara yang benar dan yang salah di dalam perkataan mereka;antara perbuatan-perbuatan yang disunatkan dan yang bid'ah dalam ibadah; antara yang benar dan yang tidak benar di dalam melakukan muamalah; antara tindakan yang halal dan tindakan yang haram; antara yang terpuji dan yang hina di dalam akhlak manusia; antara ukuran yang diterima dan ukuran yang ditolak; antara perbuatan dan perkataan yang bisa diterima dan yang tidak dapat diterima.
Benarlah apa yang pernah diucapkan oleh khalifah Umar bin Abd al-Aziz, "Barangsiapa melakukan suatu pekerjaan tanpa ilmu pengetahuan tentang itu maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki."


Karenanya terlebih mengenai sebuah pernikahan, yang meupakan awal dari pembangunan peradaban Islam, didalam nya terdapat sebuah ikatan suci yang dipenuhi dengan Ridha dan Barakah Illahi, untuk membentuk pribadi Islami, membangun generasi Rabbani, yang akhirnya mampu menciptakan masyarakat madani yang mendukung bangkitnaya khilafah Islamiah, karenanya pernikahan membutuhkan pengetahuan dan ilmu mengenainya, untuk bisa menciptakan sakinah didalamnya, samara menghiasinya dan mawadah menyertainya, sebuah pernikahan yang tak hanya menjadi sebuah ucapan penyerahan dan pemindahan tanggungjawab dari seorang ayah atas putrinya kepada seorang yang telah menikhainya tapi juga namun juga mampu menjadi taman syurga dan sarana untuk mendapatkan JannahNya, sebuah amalan Ibadah untuk memperoleh RidhaNya.


Dan bagi Asma itu adalah hal penting yang harus ia persiapkan agar ia mampu tak hanya menjadi seorang Istri yang baik dan shalihah yang adalah sebaik-baiknya perhiasan dunia, namun juga mampu menjadi bidadari yang mampu mendukung perjuangan sang suami, ibu yang baik bagi anak-anak yang akan dilahirkannya mendidik mereka untuk mampu menjadi Mujahid dan Mujahidah yang baik untuk Islam dan Dakwah dimuka bumi.


*****

Sabtu, 22 Mei 2010

Sebuah Kisah yang Belum Berjudul…


Tiga


Di sisi lain, selepas waktu subuh, setelah selesai shalat berjama’ah bersama Ustadzah Halimah, Asma kembali ke kamarnya, untuk tilawah dan mentadaburi Firman Allah yang terkandung dalam ayat-ayat Nya yang suci yang menjadi Sumber hukum Islam, pedoman dan petunjuk bagi kaum Muslimin dan orang-orang beriman. Pagi itu, tak seperti biasanya. Ustadzah Halimah datang ke kamar Asma, unuk menemui Asma dan menyampaikan suatu hal kepadanya. Asma sedikit terkejut dengan kedatangan Ustadzah Halimah ke kamarnya, karena tak seperti biasanya beliau menemui Asma di waktu subuh, karena biasanya Ustadzah Halimah selalu menemui Asma dan menanyakan kabarnya selepas waktu Isya.


Asma memepersilahkan Ustadzah Halimah masuk, dan bertanya apa gerangan yang mendorong Ustadzah Halimah bertemu dengannya di pagi buta seperti ini, ada suatu hal yang penting nampaknya. Sesaat suasana begitu hening karena tak ada suara diantara Asma dan Ustadzah, Asma hanya mampu terdiam, menunduk dan sesekali menatap serta tersenyum melihat sosok Ustadzah yang ada dihadapannya, baginya Ustadzah Halimah sudah seperti ibu kandungnya, dari Ustadzah Halimah Asma mampu mendapatkan kehangatan dan kasih sayang serta perhatian seorang ibu yang selama ini telah hilang dari nya, setelah ibu Asma meninggal saat Asma memasuki awal tahun kedua kuliahnya. Keheningan itu berakhir sampai Ustadzah Halimah tersenyum kepada Asma dan menyampaikan sebuah pertanyaan kepadanya.


“Asma anakku, anti tahu, bagi ku engkau sudah seperti putri ku sendiri, semua yang menjadi urusan mu adalah juga urusan ku, semua yang berkaitan dengan mu juga menjadi tanggung jawab bagi ku, anti mengerti maksud ana ukh ?”


“ya ustadzah Asma tahu Ustadzah begitu baik dan sayang pada Asma, terimakasih atas perhatian dan kasih sayang yang telah Ustadzah berikan hampir lima tahun ini, apa jadinya Asma seandainya tidak bertemu dengan Ustadzah saat itu, Asma pun sudah menyayangi Ustadzah seperti ibu Asma sendiri, namun maaf Ustadzah Asma belum mengerti maksud dari ucapan Ustadzah ?”


“Begini anakku, telah cukup rasanya ana menyampaikan dan mempertanyakan hal ini ke anti, karena mengingat usia anti yang hampir memasuki 24 tahun, belum terfikirkah anti untuk segera beribadath dalam menggenapkan Dien ?”


“Menggenapkan Dien ? maksud Ustadzah menikah ?”

“iya Asma…”


“hmm,,,, bagaimana ya ?? keinginan untuk ke sana pasti ada, tapi…”


“tapi kenapa anakku ?”


“memangnya siapa yang mau menikahi wanita seperti saya usatdzah, yang Cuma lulusan sarjana pendidikan, sekarang Cuma jadi guru sekolah Dasar, dan asal-usulnya pun tak jelas, ikhwan mana yang bersedia mempersunting akhwat seperti saya, bahasa arab saja tidak bisa dan hafalan pun hanya sekedarnya.”


“Anti tidak boleh merendah seperti itu ukh, karena sesungguhnya Allah menciptakan segalanya dalam berpasang-pasangan dan Allah telah menetapkan dan mempersiapkan pasangan dari setiap hamba Nya dari sejak ia lahir. Namun bukan berarti Allah akan memberikannya begitu saja tanpa ada Ikhtiar dan kesungguha dari hamba Nya.”


Ucap ustadzah Halima pada Asma seraya memandangnya dengan penuh kehangatan, Asma terdiam dan kemudian tersenyum kepada ustadzah Halimah sebagai tanda bahwa ia memahami apa yang baru saja beliau sampaikan


“Iya Ustadzah Asma fahim, maafkan ucapan Asma yang barusan, ya sudah Asma serahkan semua nya pada Ustadzah saja, Asma yakin dan percaya Ustadzah lebih banyak tau tentang pernikahan jadi Asma yakin Ustadzah lebih tau mana yang terbaik untuk Asma.”


“Baiklah anakku, tapi jika ana boleh bertanya, tak ada kah seseorang yang telah mencuri perhatian mu selama beberapa saat ini ? atau mungkin telah adakah seseorang yang anti yakini mampu menjadi Qawwam yang baik buat anti ?”


Mendengar yang diucapkan oeh Ustadzah Halimah membuat Asma hanya mampu terdiam, ia tidak tahu apa ia sudah menemukan seseorang yang tepat untuk menjadi Imam bagi dirinya dan Asma pun belum yakin apakah ia telah memiliki perasaan khusus kepada seorang ikhwan selama beberapa waktu ini. Asma hanya tahu bahwa ia begitu senang setiap kali Ustadz Rahmat bercerita kepadanya mengenai Anwar, tentang prestasinya, keluarganya sampai mengenai rencana keberangkatan Anwar ke Yaman.


Namun Asma hanya diam dan terus terdiam tanpa pernah memikirkan arti dari rasa senangnya itu, dan membiarkannya hanya menjadi sebuah warna dari sebuah rasa hati. Meski demikian sempat terlintas dibenaknya betapa beruntungnya wanita yang dapat bersanding dengan Anwar, di matanya sosok Anwar adalah seseorang yang begitu luarbiasa, dan itu terbukti dengan begitu banyaknya akhwat yang berani mengajukan diri untuk bisa ta’aruf dengan Anwar, dan tanpa sadar ia berkata dalam diamnya


’sungguh tak mungkin aku mampu bersanding dengannya, mas Anwar berhak mendapatkan wanita yang luarbiasa, seorang hafizah mungkin, yang bahasa arabnya lancar dan mujahidah yang tangguh serta militant, bukan wanita seperti diriku, ya Allah,,, Asma, Asma,, telalu jauh aku untuk bisa menggapainya,’


“anti kok bengong Asma ???”


“ehh,, anu,,, enggak kok Ustadzah, aku Cuma sedang berfikir aja.”


“berfikir tentang apa anakku ?”


“bukan apa-apa Ustadzah Cuma sesuatu yang gak penting kok, ya sudah semuanya Asma serahkan ke Ustadzah saja, Asma tsiqah sama Ustadzah.”


“ya sudah kalau begitu, o,iya satu lagi Asma, ana boleh minta tolong sesuatu Asma ?”


“Minta tolong apa Ustadzah, kalo Asma bisa insya Allah akan Asma lakukan.”


“anti tahu kan bagi ana, anti sudah seperti anak perempuan ana selama hampir 5 tahun ini, jadi bersdiakah anti mengubah panggilan anti ke ana dengan panggilan umi ???”


Lagi-lagi Asma hanya mampu terdiam dan ia terkejut mendengar apa yang baru saja ustadzah Halimah katakana.


“Subahnallah,,, Maha suci Allah dan segala puji hanya milik Nya, tentu saja Ustadzah, maksud Asma umi, tentu saja umi, dengan senang hati Asma akan memanggil umi dengan sebutan umi, panggilan yang sebenarnya ingin Asma berikan pada umi sejak lama, karena bagi Asma umi sudah seperti umi Asma sendiri.”


“ya Asma, umi juga sayang sekali pada Asma, kehadiran mu melengkapi indahnya hidup umi, mungkin Asma lah jawaban dari segala do’a umi selama ini, mungkin memang Allah tidak mengkaruniakan seorang anak perempuan dari rahim umi, tapi Ia mengirimmu sebagai jawaban dari permohonan ku.”


“terimakasih ya Allah karena Engkau memberikan wanita baik dan shalehah untuk menjadi umi bagi ku.”


“yaa,,, Umi juga bersyukur kepada Allah, karena selam 5 tahun ini Alla telah menghadirkan dan mengirimkan, seorang gadis cantik, baik, shalihah dan begitu tegar untuk menjadi anak perempuan ku, o,iya nak, mulai sekarang kamu tidak usah bayar uang sewa kontrakan ke umi, pakai saja uangnya untuk keperluan pribadi mu”


“yang benar umi ? Tapi tidak bisa seperti itu umi, Asma tidak ingin tinggal disini jadi seperti menumpang.”


“iya Asma tak apa, anti jangan berkata seperti itu, anti kan sudah jadi anak umi sekarang.”


“baiklah umi, tapi Asma mohon, umi jangan menolak jika sesekali Asma ingin memberikan sesuatu atau sedikit untuk umi dari hasil mengajar Asma.”


“baik nak.”


Ustadzah Halimah memeluk Asma dan mereka pun larut dalam keharuan, Asma yang memang telah lama merindukan kehangatan dan pelukan seorang ibu, kerinduannya kini terbayar sudah dengan pelukan dan ketulusan Ustadzah Halimah. Dan pagi itu terasa begitu indah dan cerah buat Asma, ia begitu bersemangat untuk menjalani harinya dan dengan penuh ghairah ia segera berangkat menuju sekolah tempatnya mengajar, ia terus menerus tersenyum sepanjang jalan tak pernah ia merasa sebahagia dan segembira ini sebelumya selama hampir 5 tahun terakhir.


*****


Namun Asma terperanjak seketika ia berjalan melintasi sebuah tikungan menuju rumah Anwar, Asma melihat ada seorang wanita paruh baya yang sedang terduduk merintih kesakitan, seperti habis terjatuh nampaknya, lalu dengan segera Asma menghampriri wanita itu untuk melihat keadaannya, dan saat Asma sudah berada didekat wanita itu, ‘masya Allah’ ia merasa begitu shock dan kaget, karena wanita yang sedang kesakitan itu adalah ummu Anwar dengan segera Asma membantu Ummu berdiri dan memapahnya untuk berjalan menuju rumahnya, setibanya dirumah Anwar, Asma merebahkan Ummu Anwar ke tempat tidurnya, lalu ia pergi ke dapur untuk mengambil segelas air untuk ummu Anwar agar perasaannya menjadi lebih rileks dan tenang.


Setelah ummu merasa lebih baik, Asma bertanya kepada ummu Anwar apa yang sesungguhnya terjadi padanya, lalu Ummu menjelaskan bahwa sendi pergelangan kakinya tiba-tiba terasa sakit dan ia tak sanggup untuk berdiri karenanya ia terduduk di jalan, sambil mendengarkan cerita ummu Anwar, Asma memberi kabar kepada Ustadzah Halimah dan Yasmin mengenai apa yang terjadi dengan ummu, namun ternyata usatdzah Halimah sedang berada di pasar untuk membeli beberapa keperluan untuk acara baksos Ahad nanti, dan Yasmin telah izin selama tiga hari sama ummunya dan Anwar karena ia ada sedikit keperluan berkenaan dengan tugas skripsinya.


Yasmin yang mendengar kabar berita mengenai ummunya yang sakit tentu saja jadi merasa cemas dan khawatir, namun ia tak mungkin bisa kembali pulang dan tiba di rumah saat ini juga, sedangkan Anwar, Asma berfikir sebaiknya ia tak memberi tahu Anwar terlebih dahulu, karena ia tak ingin Anwar menjadi khawatir dan mengganggu pekerjaannya, akhirnya ia menghubungi Ustadz Rahmat dan menceritakan apa yang terjadi dan Asma memohon izin untuk tidak masuk mengajar hari ini, karena ia harus menjaga ummu Anwar karena tidak mungkin Asma tega meninggalkan Ummu Anwar sendirian dengan kondisi nya seperti ini.


Asma bertanya kepada ummu Anwar apa yang biasanya dilakukan saat persendiannya terasa sakit, dan ummu berkata pada Asma bahwa biasanya ummu biasa meminum obat herbal, dengan segera Asma mencari obar herbal itu ditempat yang diberi tahukan ummu, namun sedihnya Asma saat melihat kotak persediaan obat, ternyata obat herbal yang biasa di minum ummu telah habis, dengan menyesal Asma memberi tahukan kepada ummu Anwar bahwa persediaan obatnya telah habis, lalu ummu membalasnya dengan senyum dan berkata pada Asma untuk tidak bersedih dan merasa bersalah, namun kemudian Asma bertanya kepada Ummu Anwar dimana biasanya ummu beli obat herbal itu, ummu berkata bahwa yang biasa membelinya adalah Anwar dan biasanya Anwar membelinya di toko obat herbal yang berada di jalan Margonda.


Antara bingung dan cemas meninggalkan ummu Anwar sendiri dirumahnya untuk membeli obat, membuat Asma berulang kali ia bertanya kepada ummu Anwar, ‘tak apakan ummu, Asma tinggal sebentar untuk beli obat ?’ dan berulang kali juga ummu Anwar menjawabnya dengan senyuman agar Asma tidak perlu merasa terlalu khawatir dengan kondisinya ‘iya nak Asma ummu tidak apa-apa’


Asma seperti itu, karena ia tak mau ummu merasa sakit yang terlalu sangat, semenjak kepergian ibu kandungnya, membuat Asma lebih menghormati seorang ibu dan membuatnya mengerti betapa berarti dan berharganya seorang ibu untuknya, terlebih yang sedang sakit sekarang adalah ummu Anwar, ibu dari orang yang ia kagumi.


“Assalamu’alaikum..”


Terdengar suara orang datang dan memberikan Salam.


“wa alaikimsalam..”


Ternyata yang dating adalah Azizah, Alhamdulillah kebetulan Azizah datang ucap Asma dalam hati, jadi ada yang bisa nungguin ummu selama aku beli obat, fikirnya.


“ehh,, ada Asma, kamu gak ngajar Asma, lho,,, ummu kenapa ?”


Ummu menarik tangan ku mengisyaratkan agar Asma tak mengatakan yang seungguhnya terjadi pada Azizah.


“ehh,, gak ummu gak kenapa-napa kok zah, Cuma lagi ingin istirahat aja katanya, ya sudah aku titip ummu ya, aku mau keluar sebentar.”


“ya sudah sana, lama juga ndak apa-apa, ummu biar aku yang temenin.”


“ya sudah, Assalamu’alaikum.”


“Wa alaikumsalam.”


Asma bergegas pergi menuju bilangan Margonda untuk mendapatkan obat herbal yang biasa diminum ummu Anwar untuk meringankan rasa sakitnya, namun setibanya Asma kembali dari membeli obat, ia begitu terkejut karena ternyata di rumah Anwar sudah ada banyak sekali orang yang datang, Asma berfikir dan dalam hatinya begitu cemas, ‘ada apa ini apa telah terjadi sesuatu yang lebih buruk sama ummu,’ fikirnya, ‘tidak aku mohon tidak ya Allah, semoga fikiran ku salah dan ummu baik-baik saja, karena aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika tejadi sesuatu yang buruk pada ummu karena aku meninggalknnya saat kondisinya tak baik,’ ucap dan doa Asma dalam hatinya.


Dengan penuh kekhawatiran dan kecemasan perlahan Asma melanjutkan langkah kakinya menuju ruang tengah rumah Anwar dan saat ia hendak tiba di kamar ummu Anwar, Asma terdiam dan ia melihat beberapa ikhwan dan akhwat berjilbab panjang ada disana, ‘teman-teman kerjanya mas Anwar sepertinya,’ gumamnya dalam hati, sesaat kemudian ia menatap ummu dan hatinya begitu merasa senang dan tenang ‘Alhamdulillah,,,’ hatinya mengucap syukur kepada Rabbnya ternyata ummu Anwar baik-baik saja, dan orang-orang ini sepertinya teman-teman Anwar yang sengaja datang untuk melihat kondisi ummu yang sedang sakit, ‘tapi,,,’ Asma termenung sejenak, ia berfikir dari mana Anwar bisa tahu kalau ummunya sakit, sementara ia tak memberi tahu Anwar tentang kondisi ummu kepada Anwar.


Lalu Asma teringat bahwa sebelum ia pergi Azizah datang, dan ia berfikir mungkin Azizah yang telah memberi kabar kepada Anwar tentang kondisi ummunya sehingga Anwar bersama teman-teman nya segera datang, Asma menatap ruangan kamar ummu Anwar dari kejauhan, ia tak berani mendekat karena takut merusak keadaan, lagipula apa yang akan ia lakukan dan katakan jika tiba-tiba ia muncul ditengah-tengah rekan kerja Anwar, memangnya siapa ia, fikirnya. Asma memperhatikan teman-teman satu persatu teman Anwar dari kejauhan, ada kurang lebih 4 ikhwan dan 3 akhwat yang datang, ‘subhanallah, mas Anwar kan orang yang luarbiasa, pasti teman-temannya juga orang-orang yang luar biasa,’ gumamnya sendiri.


Asma terus melihat keseliling kamar ummu dan ternyata Azizah pun masih ada disana, sesaat ia berfikir, jika saja ia seberani dan sepercaya diri se[erti Azizah pasti ia mampu berada diantara teman-teman Anwar, namun ia berfikir tentu saja Azizah tak bisa disamakan dengannya, Azizah adalah puteri dari keluarga terpandang dilingkungan ini dan keluarganya pun sudah sangat kenal dengan keluarga Anwar, sedangkan ia, ia hanya seorang yatim piatu yang kebetulan tinggal didaerah ini dan diangkat anak oleh seorang Ustadzah, tentu tak bisa disamakan dan dibandingkan fikirnya.


Kemudian saat ia melihat kearah Anwar, tiba-tiba hatinya terasa begitu perih, dan perutnya mual karena ia melihat ada sosok seorang akhwat yang begitu dekat dengan Anwar (masih ada jarak dan hijabnya tapi paling dekat diantara yang lain) dan akhwat itu sesekali tersenyum dan terlihat begitu akrab berbincang dengan ummu dan Anwar, ‘ya,, Allah ada apa ini kenapa tiba-tiba perasaan ku seperti ini,’ ucapnya. Akhirnya Asma memutuskan untuk pulang dan mengurungkan niatnya untuk memberikan obat herbal yang telah ia beli untuk ummu Anwar, ‘lebih baik nanti sore saja aku berikan obat ini ke ummu bersama umi Halimah sekalian menjenguk.’ Ucapnya.


*****


Setibanya dirumah, Ustadzah Halimah menyambutnya dengan penuh kehangatan dan senyuman, ustadzah Halimah bertanya kepada Asma mengenai kondisi ummu Anwar, dan ia berkata ummu Anwar sudah lebih baik dan sekarang sedang banyak tamu yang juga teman-teman nya Anwar sedang menjenguknya. Asma beruasaha untuk tetap tersenyum dihadapan ustadzah Halimah dan menyembunyikan kesedihan hati nya akan kejadian yang baru saja ia lihat, saat Anwar terlihat begitu akrab dan senang saat bercengkrama dengan seorang bidadari yang berada disebelahnya, meskipun saling menunduk tapi terlihat keakraban diantara mereka, dan itu membuat hati Asma terasa begitu sedih, ya bahkan sangat sedih, meski ia tak mengerti mengapa ia merasa seperti itu.


Dan hari itu tak seperti biasanya Asma menghabiskan sebagian sisa harinya berada dikamar mengurung diri bersama catatan hariannya dan menumpahkan segala kegelisahan perasaannya dan kesdihan hatinya di dalam buku itu.



Dear Diary,

Sungguh aku tak ngerti kenapa perasaan aku begitu sedih dan hati ku begitu perih saat aku melhat wanita cantik dan shalihah itu berada didekat mas Anwar dan melihat mereka begitu akrab. Ya Allah perasaan apakah yang sesungguhnya aku rasakan untuk mas Anwar ? jatuh cintakah aku padanya ? Ya Rabb, Engkau yang Maha memiliki rasa cinta, lindungilah aku dari segala perasaan cinta semu dan palsu yang hanya akan membuat ku lumpuh dan menjatuhkan ku, dan jika memang aku harus jatuh cinta, cintakan aku kepada seseorang yang mampu menambah cinta ku pada Mu, dan untuk perasaan ini, bantu aku untuk menjaganya ya Allah, agar jangan sampai melebihi rasa cintaku pada Mu serta bantu aku untuk tetap yakin dan pasrah akan segala keputusan Mu atas ku.


Depok,di hari yang mendung dan kelabu


Asma Nur Sya’Idah


*****


Sesaat kemudian alam bawah sadarnya membawa Asma pergi jauh dari kesedihannya, jauh dan begitu jauh dari segala fikiran dan semua hal mengenai Anwar dan perasaannya, perasaan kagum yang tak pernah ia sadari kini telah berubah menjadi sebuah perasaan lebih dari sekedar simpati, Asma tertidur setelah selesai menulis di buku hariannya, sampai akhirnya menjelang pukul 3 sore ustadzah Halimah masuk ke kamarnya dan membangunkannya.


“Asma anakku bangun nak, sudah mau Ashar.”


“Astaghfirullahal’adzim, jam berapa sekarang umi ?”


“hampir jam 3 Asma.”


“owh,, untunglah, Alhamdulillah, Asma kira sudah jam 5, Asma takut ketinggalan waktu Ashar.”


“ya sudah lebih baik sekarang kamu cuci muka biar lebih segar.”


Selepas waktu Ashar, Asma membantu ustadzah Halimah mempersiapkan makan malam untuk ia, Ustadzah dan suaminya, serta ustadzah berkata padanya mereka akan mengirimkan sedikit masakan untuk ummu Anwar, karena pastinya tak ada yang masak di rumahnya untuk hari ini. Ba’da Shalat Maghrib Asma dan Ustadzah Halimah bergegas menuju kediaman Anwar untuk melihat keadaan ummu Anwar, ada sedikit ke khawatiran di hati Asma saat perjalanan menuju kediaman Anwar, ia tak ingin bertemu dengan teman-teman kerja Anwar terlebih wanita yang terlihat begitu akrab dengan Anwar siang tadi, ataupun dengan Azizah, sepenjang perjalanan hatinya terus berkata, ‘ya Allah semoga mereka semua sudah tak ada di rumah mas.Anwar.’


Melihat sikap Asma yang terlihat agak aneh dan begitu gusar membuat ustadzah Halimah bingung dan menanyakan apa yang terjadi dengan Asma, namun ia hanya mengtakan bahwa kepalanya agak pusing sejak siang tadi, karenanya ia mengurung diri dikamar dan tertidur. Saat semakin mendekati rumah Anwar membuat Asma semakin gusar, perasaannya sangat gelisah ia sungguh-sungguh tak ingin bertemu dengan orang-orang yan tadi siang berada di rumah itu termasuk Aswar, ia khawatir tak sanggup membendung perasaannya jika harus bertemu Anwar saat ini.


Namun setibanya di rumah Anwar, Asma sedikit merasa lega, karena sepertinya rumah Anwar terlihat sepi dan hanya ada ummu dikamar, langsung saja, setelah mengucap salam dan dijawab oleh ummu dari dalam, ummu Anwar mempersilahkan Asma dan ustadzah Halimah untuk masuk menemuinya di dalam. Dengan penuh keceriaan Asma menanyakan kabar ummu dan memberikan bingkisan yang ia dan ustadzah Halimah bawa, bubur hangat beserta potongan daging ayam serta obat herbal yang tadi siang ia beli, Asma juga meminta maaf kepada ummu Anwar, karena baru bisa membawakan obat herbalnya sekarang, ia menjelaskan bahwa sebenarnya ia sudah tiba disini tadi siang, hanya saja Asma tak enak hati untuk masuk kedalam menemui ummu karena banyak teman Anwar yang datang.


“Dimakan ya ummu buburnya, sini biar Asma yang suapin ummu makan.”


“aduh, nak Asma jadi repot-repot nihh, terimakasih banyak ya nak untuk semuanya.”


“sama-sama ummu, ummu tidak usah merasa sungkan seperti itu, anggap saja saya seperti Yasmin yang sedang merawat ummu.”


“gimana mbakyu, bubur nya enak tidak ? itu buatan Asma lho.”


Tanya ustadzah Halimah kepada ummu Anwar mengenai bubur yang aku dan beliau bawa.


“enak kok mbakyu buburnya, wah, nak Asma pintar masak juga ya… beruntung banget lho, ikhwan yang bisa dapat nak Asma, sudah cantik, pintar bisa masak pula.”


“iihh,, ummu jangan bilang kayak gitu ahh,,, Asma kan jadi tak enak hati.”


“kenapa jadi gak enak, ummu bicara yang sejujur nya lho nak.”


“Asma memang orangnya seperti itu mbakyu, dia paling suka merenadah dan gak enakan sama orang.”


Asma begitu merasa senang malam itu, bisa berada diantara dua orang ibu yang berart untuknya, ustadzah Halimah yang telah menjadi ibu angkatnya dan ummu Anwar, ibu dari pria yang ia cintai, dan kedua ibu itupun sangat baik dan sayang padanya. Selepas adzan Isya Asma dan ustadzah Halimah pamit untuk pulang, karena ustadzah Halimah tidak ingin mereka berdua tidak berada di rumah saat suami ustadzah kembali dari Masjid ba’da shalat Isya. Dan Asma pun dengan senang hati mengiyakan dan setuju dengan keputusan ustadzah, terlebih saat ini ia memang sedang tidak ingin bertemu dengan Anwar.


*****

Selasa, 11 Mei 2010

Sebuah Kisah yang Belum Berjudul…


Dua


Tiba di rumah Anwar merebahkan sejanak badan nya keatas tempat tidur, ‘huft,,, nyaman banget rasanya kalo udah nyampe rumah.’ Sejenak ia menatap ruangan kamar nya yang memang tiada pernah berubah sejak beberapa tahun silam, dalam diam ia berharap mampu menemukan jawaban atas segala kegundahan dan risau hati yang sedang ia rasakan.


“tok, tok, tok,,”


Hmm,,, seperti biasa selalu ada saja yang mengetuk pintu kamar nya, setiap kali ia sedang berada di kamar dan orang itu tak lain dan tak bukan adalah adik nya, Yasmin.


“abang,,, di panggil Ummu tuh,,, di suruh mandi katanya.”


“anak kecil yang satu ini bawel banget, gak bisa apa kalo ngomongnya gak pake teriak neng.”


“habisnya abang, kalo aku gak teriak pintu kamarnya gak dibukain, kenapa sih beberapa hari ini abang seneng banget ngurung diri dikamar, lagi mikirin apa sih bang, cerita dong ke aku siapa tau aku bisa bantu.”


“gak apa-apa kok dek nanti saja ceritanya abang mau mandi dulu, Ummu di mana ?”


“ada di kamar kok bang.”


Setelah membersihkan diri terasa kesegaran begitu teraasa menyelimuti seluruh tubuh Anwar dan stamina serta semangat baru kini ia rasakan, dan sekarang ia siap untuk segera berangkat ke Masjid untuk melaksanakan Sholat Magrib berjamaah, setelah selesai Sholat seperti biasa Anwar selalu diam di Masjid untuk meghafal atau setidaknya mengulang kembali surah Al-Qur’an yang telah ia hafal sampai tiba waktu Isya, baru setelah selesai Sholat Isya anwar pulang dan mempersiapkan perlengkapan mengajar untuk esok.


“Assalamua’laikum.”


Terdengar suara yang seperti nya tak asing lagi bagi Anwar menyapa nya dengan salam.


“Wa a’laikumsalam Warahmatullah Wabarakatuh.”


“apa ana menggangu antum akh ?”


Tegur suara itu, yang ternyata pemilik nya adalah Irfan, ia adalah teman baik Anwar sejak kecil hingga sekarang.


“eehh,, antum fan antum gak ganggu ana kok, kaifa haluk ya akhi ?”


“Alhamdulillah, ana bii khair, wa antum ?”


“Alhamdulillah, kaifa sughlika al yaum ? ?”


“Alhamdulillah akh, syukuran ilahadrothillah masalati khairan insya Allah, wa antum ? kaifa isti`daduka ila Yaman?


“hmm,,, gimana ya akh, kalo persiapan ke Yaman sihh,,, Insya Allah udah hampir beres tinggal berangkat aja, tapi…”


“tapi kenapa akh ?”


“hmm,,, laba’sa akhi…”


“ente itu war, ama ane aja main rahasia-rahasiaan, paling antum lagi bingung milih calon yang cocok kan ? atau jangan-jangan ente udah ada something feel sama akhwat tapi masih ragu-ragu yahh ??? hayo ngaku antum….”


“hmm,,,,, ada bener nya juga sih apa yang antum sebutkan tadi, tapi,,, darimana antum tau Fan ? kan udah lama kita tak jumpa ?”


“hadoohh,,, antum itu war jeleknya antum, belangnya antum ampe item nya antum kan ane udah tau Anwar…la wong dari SD kita selalu forever-together kan ??? heee…. ngomong-ngomong dari hari apa antum pulang war ?”


“roja`tu min Yogya fil yaumi sabti, wa aina anta?tahzabin, limadza la tahdhor fii majelis yauma ahad amsi?”


“owh itu, iya kemaren ana ada sedikit keperluan War, o,iya hari sabtu besok kita mau ngadain baksos nih, antum mau gabung gak ? lagi pula udah lama juga kan antum gak bantuin acara di lingkungan Rt kita.”


“ooo,,, boleh-boleh fan, Insya Allah, kebetulan sabtu besok ana gak ada agenda kemana-mana.”


Sesaat, terlintas dibenak Anwar untuk menanyakan suatu hal mengenai Asma kepada Irfan, ia ingin bertanya kepada sahabat baiknya itu apakah Irfan juga mengenal Asma, jika ya seperti apa kesehariannya, dan kenapa Anwar sampai tak pernah melihat Asma selama hampir 5 tahun ini, namun setelah ia mempertimbangkan lagi mungkin sebaik nya Anwar tidak menanyakan hal itu pada Irfan, karena ia sendiri belum yakin dengan apa yang sebenarnya ia rasakan untuk Asma.


“woii,, ente bengong war, kenapa sihh ? pulang dari tugas di Jogja kok malah jadi aneh ???”


“mmm,,, gimana ya Fan, sebenarnya aku berat ninggalin Ummu dan Yasmin ke Yaman, aku khawatir sama mereka, baru kemarin aku ninggalin Ummu sama Yasmin karena tugas di Jogja selama 4 bulan, dan besok harus ninggalin Ummu sama Yasmin ke Yaman selama 6 bulan, fuuht hati aku gak tenang Fan.”


“antum gak tenang karena waktu ke Jogja kan antum sendiri, tapi kalo ke Yaman besok kan insya Allah akan ada temannya, mungkin itu salah satu alasan Ustadz Rahmat kenapa beliau nyuruh antum nikah dulu sebelum pergi ke Yaman, udah kalo masalah Ummu sama Yasmin, antum gak usah khawatir kan ada ana.”


“ada ente, maksudnya ???”


“iya ada ana yang bakal jagain Yasmin sama Ummu antum, ya,,, itung-itung jagain calon istri sama calon mertua, hee…”


“apaan ?? calon Istri ?? enak aja ente, ogah banget ane punya adik ipar kayak ente.”


“lha,,, memangnya kenapa, ana bekal Iman Insya Allah ada, pengetahuan Agama ada, penghasilan insya Allah udah cukup lah, apa lagi yang kurang coba ??”


“hahaa,, ngaca ndiri dah.”


“maksudnya ????”


“gak kok akh,, ana just kidding, ane sih terserah Yasminnya aja, tapi memangnya antum beneran mau ama adik ana ???”


“mmm,,, kenapa enggak, udah ah nanti aja ngurusin masalah ana nya, yang penting masalah antum dulu sekarang, antum kenapa war memangnya belum ada calon yang cocok juga ? perasaan ane banyak kan akhwat yang tertarik sama antum dari SMA, bahkan ada yang bela-belain masuk rohis, ikut mentoring dan jilbabnya dipanjangin biar bisa dapet simpati dari ente.”


“hah,,, serius ente, ane kira waktu itu kabar yang beredar mengenai ukh yang hijrah karena ane Cuma gossip aja.”


“yaah,, ente war dari dulu ampe sekarang kagak berubah-berubah, kurang up-date dan terlalu cuek, o,iya ana denger dari ustadz Rahmat katanya ada beberapa akhwat yang mengajukan ta’aruf duluan ke antum ?”


“iya fan.”


“terus ?”


Tanya Irfan bingung dan penuh antuias menatap Anwar


“terus apa ?”


Tambah Anwar, menanggapi pertanyaan yang Irfan ajukan.


“ya terus gimana ?? apa dari mereka gak ada satupun yang membuat ente tertarik akh ? mereka kan akhwat-akhwat yang luar biasa ?”


“iya fan aku tau, mereka akhwat-akhwat dan mujahidah yang luar biasa, mereka anak kader, hafizhah, mereka mujahidah dan aktivis yang militant di berbagai organisasi yang punya seabrek kegiatan, tapi bukan seperti itu yang aku cari Fan, karena menurutku sangat wajar apabila mereka bisa menjadi akhwat yang luarbiasa, karena mereka hidup dan tinggal di lingkungan keluarga yang kondusif dan memang sudah memiliki pemahaman agama yang baik dan mereka bisa menjadi seperti itu karena ayah dan ibu mereka memang Ustadz dan Ustadzah, tapi bukan karena perjuangan mereka sendiri untuk mencari dan berjuang untuk dapat menemukan hidayah dan memperdalam pemahaman akan Islam serta berusaha sekuat tenaga mereka untuk mempertahankan Izzah mereka sebagai seorang Muslimah dengan apapun kondisi dan resiko yang harus mereka terima fan…..”


Sejenak Anwar menghentikan perkataan nya dan menatap Irfan yang terlihat begitu terkejut mendengar apa yang baru saja ia katakan.


“antum kok malah bengong sih Fan bukannya dengerin penjelasan ku???”


“siapa yang bengong Anwar, tapi ana tuh justru lagi serius ngedengerin antum ngomong, udah belum penjelasannya ???”


“hee,,, udah Fan, afwan akhi kalo ceritanya kepanjangan.”


“la syaiaa War, ters sekarang gimana, antum punya rencana apa ?”


“Rencana ??? hmm,,, gak tau dehh Fan, aku juga masih bingung.”


“bingung ?? bingung kenapa War ? atau janga-jangan, sebenarnya antum sudah menaruh simpati sama akwat tapi belum berani mengajukan ya ??? hayooo ngaku ente ?”


Pertanyaan Irfan membuat Anwar merasa tersudut, Anwar tidak mungkin berkata tidak ada atau bilang ia tidak sedang merasa simpati kepada seorang akhwat, karena dengan begitu berarti Anwar telah berbohong kepada teman baiknya, tapi Anwar juga belum bisa mengatakan yang sejujurnya kepada Irfan mengenai perasaan kagum nya pada Asma, ‘ya Allah aku harus berkata dan menjelaskan apa kepada Irfan’ (Allahu Akbar, Allahu Akbar…) terdengar Adzan Isya berkumandang, ahaa,, ‘dengan begini aku punya alasan untuk mengakhiri pembicaraan, terimaksih ya Allah.’


“Fan udah Isya nihh, bincang-bincang nya kita lanjut nanti saja, sekarang kita sholat berjamaah, oke…”


Setelah selesai sholat Anwar langsung bergegas pulang karena harus mempersiapkan beberapa hal untuk pekerjaan nya besok, langit kelurahan Pancoran Mas malam ini terasa begitu terang dengan jutaan bintang yang bertabur menghiasi langit hitam yang begitu luas, Maha Suci Engkau ya Rabb Tuhan Semesta alam atas seluruh keindahan alam beserta isinya yang telah Engkau ciptakan.


*****


Tiba di rumah Anwar langsung menuju kamar nya, saat melintasi ruang tengah Anwar melihat Yasmin dan Ummu nya sedang berbincang dan bercanda, entah apa yang sedang mereka bicarakan namun terlihat keceriaan di wajah keduanya, Ummu nya dan Yasmin adalah dua hal yang paling berharga dalam hidup Anwar senyum mereka adalah penawar lelah bagi nya, terlebih adiknya Yasmin sikap manjanya yang membuat ia selalu rindu pada adik nya itu apabila Anwar sedang pergi tugas ke luar kota, dan setiap kali ia melihat senyuman di wajah Yasmin Anwar selalu ingat akan abahnya, terkadang Anwar merasa kasihan pada adik satu-satunya karena ia tak pernah tahu wajah abahnya seperti apa, paling hanya dari foto kenangan yang ia dan Ummu nya punya, karena saat abah nya pergi Yasmin baru berusia 9 bulan.


Karenanya Anwar begitu sayang pada Yasmin dan ia pun tahu adik nya itu sangat sayang pada nya, mengenang memori tentang abah nya tiba-tiba mengingatkan Anwar pada Asma, Asma yang begitu luar biasa ia pun sudah tak memiliki orang tua lagi, bahkan Asma pun tak memiliki saudara lagi disini, dan hanya kepada Ustadzah Halimah lah kini mungkin tempatnya bertanya dan berbagi, ya Rabb, Anwar berfikir setidaknya ia masih lebih beruntung dari Asma karena ia masih memiliki Ummu dan Yasmin. Asma,,, sosok wanita itu Anwar tak bisa melepaskan bayang-bayang wanita itu dari benak nya.


“abang, abang ada di kamar ?”


“iya dek, masuk aja.”


“abang lagi apa ?”


“memang Yasmin liatnya abang lagi apa ?”


“lagi beres-beres kertas, kertas sebanyak itu buat apa aja sihh bang ?”


“buat apa ??? macam-macam dek, kamu gak ada tugas kuliah ?”


“aku kan udah gak kuliah abang, udah tinggal skripsi aja… abang gimana sihh kok lupa ??”


“hee,,, iya dek, maaf abangnya lupa, maklum banyak hal yang harus abang ingat, ya sudah, gimana skripsi nya sudah rampung ? kapan sidang ?”


“belum bang tinggal penutupnya saja, sidangnya insya Allah akhir bulan ini.”


“akhir bulan ini, cepat ya dek, terus wisudanya ?”


“iya bang, doain adek ya, biar sidangnya lancar, wisudanya bulan depannya lagi bang.”


“mudah-mudahan kamu wisuda abang belum pergi ke Yaman ya dek, o,iya apa rencana kamu setelah wisuda ?”


“ya mau kerja lah….”


“ooohh,, mau kerja, kirain mau langung nikah, hee…”


“yee,,, abang, abang dulu aja tuhh, cepetan nikah sana, kok malah jadi aku yang di suruh nikah.”


“tapi kalo ada ikhwan yang mengajukan ta’aruf gimana ?”


“mmm,,, gimana ya ?? lagi pula memangnya ada yang mau sama aku apa ?”


“ya pasti ada lah.”


“hah,,, yang bener siapa bang, temen abang ada yang mau ta’aruf sama aku, yang mana bang ?”


Sesaat Anwar teringat pembicaraan nya dengan Irfan saat di masjid tadi, awalnya Anwar hendak mengatakan kepada Yasmin mengenai pembicaraan nya dengan Irfan mengenai Yasmin, tapi Anwar mengurungkan niat nya itu, karena Anwar tak mau adik nya berharap lebih dan berharap sesuatu yang belum pasti akhirnya, biarlah Yasmin yang menemukan sendiri pria yang akan menjadi suaminya.


“semangat betul nanya nya neng, adik abang ini ternyata narsis n GeeRan juga ya….”


“yeee siapa yang narsis, Cuma percaya diri saja bang, hee...”


“ya pasti akan ada lah dek suatu saat nanti tapi gak sekarang, lagi pula siapa coba yang gak mau nikahin gadis secantik, sepinter dan sebaik adik abang ini.”


“jaah,,, abang ini dikirain beneran ada yang mau ta’aruf sama aku, abang bisa aja aku kan jadi malu.”


“kenapa harus malu, masa sama abangnya sendiri saja kok malu sihh dek..”


Sesaat kemudian terdengar suara orang mengucapkan salam dari depan rumah ku, ada tamu yang datang sepertinya dan tak lama kemudian terdengar suara Ummu memanggil aku dan Yasmin.


“Anwar, Yasmin, kemari sebentar nak, ada nak Azizah datang.”


“iya ummu, sebentar kami keluar.”


Segera Anwar dan Yasmin bergegas ke ruang depan, untuk menghampiri Ummu dan Azizah. Azizah adalah puteri salah seorang yang cukup terpandang dilingkungan rumah Anwar, keluarga nya termasuk dari golongan berada, Azizah juga adalah adik kelas Anwar saat SMA dan kakak kelas Yasmin juga waktu di SMA. Namun ada hal yang membuat Anwar menjadi tak enak hati pada Azizah dan keluarganya, karena sejak setahun belakangan, orangtua Azizah selalu menawarkan dan meminta Ummu untuk menjodohkan Anwar dengan Azizah.


Tentu Anwar tak bisa menerima tawaran dari orangtua Azizah begitu saja, meski ia tahu latar belakang keluarga Azizah adalah gadis baik-baik dan dari keluarga baik-baik serta walau hubungan dan interaksi antara Anwar dan Azizah terlihat cukup ‘akrab dan dekat’, namun tak pernah sedikit pun Anwar menyimpan perasaan khusus terhadap Azizah, bagi nya ia hanya seorang teman baik yang sudah seperti adik perempuan nya sendiri, karena Azizah dan keluarganya pun begitu baik dengan Yasmin dan Ummu selama ini, namun itu juga yang menjadi beban Anwar saat ini, Anwar tak ingin mereka salah mengartikan kedekatan nya dengan Azizah.


Karena itu beberapa pekan sebelum Anwar pergi tugas ke Jogja kemarin, Anwar berusaha sedikit menjaga jarak dengan Azizah. Namun Anwar bersyukur, karena Ummu nya menghargai keputusan Anwar dengan tidak memaksakan Anwar untuk menerima perjodohan nya dengan Azizah, Anwar begitu bahagia memiliki seorang ibu seperti Ummu, yang memberikan kebebasan dan kepercayaan kepada ia dan Yasmin untuk menentukan sendiri siapa yang akan menjadi Istri nya atau suami Yasmin nantinya.


“Ada mas Anwar tohh, mas kok gak bilang-bilang aku sih kalo udah pulang, kemarin pas mau berangkat gak ngasih kabar, sekarang udah pulang juga gak bilang, mas Anwar tega sama Azizah.”


‘Hadooh Azizah ini, dari pertama kali aku kenal sampai sekarang manjanya gak berubah-berubah.’


“iya Zah, maaf saya belum sempat kasih kabar, karena lagi banyak keperluan, kamu gimana kabarnya ?”


“aku baik Mas, mas Anwar gimana ?”


“Alhamdulillah, saya baik Zah, kamu kesini sama siapa ? nanti umi nya khawatir lho…”


“tadi aku sama umi abis pulang dari supermarket, terus aku mampir ke sini dulu.”


“owh, ya sudah kalau begitu, saya kedalam dulu ya, kamu bincang-bincangnya sama Ummu dan Yasmin saja, saya lagi banyak kerjaan nih Zah.”


“ya sudah kalau begitu Azizah pamit pulang saja, setidaknya Azizah tahu kalau mas Anwar sudah pulang dan kondisi nya baik-baik saja, Azizah pamit Ummu, Yasmin, mari mas, Assalamua’laikum.”


“Wa ‘alaikumsalam Warahmatullah Wabarakatuh.”


“kamu kok seperti itu sama nak Azizah, nak ?”


“maafkan Anwar Ummu, Anwar seperti itu hanya ingin memberikan sikap tegas kepada Azizah, supaya Azizah tahu dan sadar bahwa Anwar hanya menganggap ia sebagai teman baik biasa saja Ummu, tidak lebih.”


“baik lah nak kalau begitu, Ummu fahim, tapi perlahan ya nak, karena Ummu juga tidak mau kalau sampai pada akhirnya nak Azizah sakit hati karena sikap kamu.’


“baik Ummu, insya Allah Anwar fahim.”


“lagian abang juga sihh, yang awalnya ngasih kak Azizah harapan.”


“yee,,, anak kecil ikut nyamber aja, siapa yang ngasih Azizah harapan, dari awal abang juga gak pernah ngasih harapan ke dia, buktinya waktu orangtua Azizah menawarkan untuk menjodohkan Azizah ke abang kan tidak abang iya kan, bahkan abang menolaknya.”


“iya deh, maaf Yasmin salah.”


“shuuut, sudah-sudah, kok jadi pada ribut, sudah malam lebih baik kita semua istirahat dan pergi tidur, hayuu nak.”


Anwar nyaris tak bisa memejamkan mata nya meski hanya untuk sejenak, bayangan tentang Asma selalu terlintas di fikiran nya, setiap kali Anwar memejamkan mata, ‘fuuuht,,, ada apa ini ya Allah, Astagfirullah hala’dzim, lindungi aku dari segala godaan dan bisikkan syaitan yang selalu berusaha untuk mengganggu ku ya Rabb.’ Akhirnya, Anwar memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur nya dan keluar kamar menuju kamar mandi, untuk mencuci muka dan mengambil air wudhu, setelah itu ia ganti pakaian nya dan menggelar sajadah di sisi tempat tidur nya, Anwar melaksanakan shalat istikharah sebanyak dua rakaat, memohon petunjuk kepada Rabb nya, atas segala kegelisahan dan perasaan yang selama ini ia rasakan, ya mungkin hanya pada Allah terdapatnya jawaban atas segala pertanyaan.


‘Dalam heningnya malam dan sunyi nya kegelapan, aku bersimpuh pada Rabb ku, Dzat yang Maha pemurah lagi penyayang, maha pemberi petunjuk dan Maha pemberi keputusan, dan hanya dari Mu ya Allah sebaik-baiknya petunjuk Ya Allah Engkau yang Maha melihat dan Maha mendengar, malam ini aku datang pada Mu dengan menundukan hati dan jiwa ku, dan dengan segenap ruh dan jasad ku memohon kepada Mu, aku tahu Engkau telah mengetahuinya, segala perasaan dan kegelisahan yang ku rasakan, kecondongan hati dan ketertarikan ku pada Asma, yang tak mungkin bisa aku tutupi dan sembunyikan dari Mu, karena semuanya akan percuma dan sia-sia.


Ya Allah, aku hanya berharap yang terbaik dari Mu, karena Mu jika memang ia adalah jodoh yang telah Engkau persiapkan untuk ku, jika memang ia yang Engkau cipatakan untuk menjadi setengah Dien ku dan jika ia yang Engkau kirimkan untuk menjadi tulang rusuk bagi ku, dekatkan dan permudahkan lah ya Allah, berikan lah petunjuk dan bukakanlah jalan nya, namun karena Mu jika memang bukan ia jodoh yang Engkau persiapkan untuk ku, bukan ia yang Engkau ciptakan untuk menjadi setengah Dien ku, dan bukan ia yang Engkau kirimkan untuk menjadi tulang rusuk bagi ku, jauhkanlah ia dari ku dan hapuskanlah segala perasaan yang aku miliki untuk nya, aku yakin ya Allah keputusan Mu adalah yang tebaik karena Engkau lebih tahu mana yang terbaik untuk hamba Mu dan Engkau lah sebaik-baiknya pemberi petunjuk, amin Allaumma amin.’


Setelah Anwar bermunajah dan mengadu pada Rabb nya atas segala kegelisahan hati dan perasaan yang ia rasakan kepada Asma, dalam do’a dan sujud nya membuat hati Anwar kini jauh lebih tenang, Anwar yakin akan keputusan dan kehendak yang akan Allah berikan, Anwar percaya Allah lebih tahu yang terbaik untuk nya karena ia tahu Allah mengetahui dan mengenal dirinya lebih dari ia mengetahui dan mengenal dirinya sendiri, ‘hmm,,,’ akhirnya kini Anwar bisa tidur dengan hati dan fikiran yang jauh lebih tenang dan lapang.


*****